Fashion

Fashion Kebaya Meriahkan Diplomasi RI di Vatikan

Fashion Kebaya Meriahkan Diplomasi RI di Vatikan
Fashion Kebaya Meriahkan Diplomasi RI di Vatikan

JAKARTA - Pendekatan budaya kembali menjadi kekuatan lunak Indonesia dalam menjalin hubungan internasional. Salah satu buktinya tampak dalam perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan yang digelar di Roma. Berlangsung penuh semangat, acara ini dikemas tidak hanya sebagai simbol diplomatik, tetapi juga sebagai panggung promosi warisan budaya Indonesia melalui kebaya dan kain batik.

Dalam rangka menyemarakkan Hari Kebaya Nasional yang ke-2, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Vatikan menggelar sebuah acara istimewa. Sorotan utama tertuju pada fashion show kebaya dan sesi belajar berkain bersama pakar kebaya, Wisni W. Drupadi. Acara ini sukses menarik perhatian sekitar 40 duta besar dan diplomat perempuan, yang hadir dalam balutan semangat menghargai dan mempelajari kekayaan budaya Indonesia.

Saat para tamu undangan mulai berdatangan, mereka disambut dengan tayangan video yang menggambarkan keindahan dan keunikan beragam jenis kebaya dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari kebaya batik, janggan, kutu baru, kebaya noni, hingga kebaya Bali, semua ditampilkan sebagai representasi dari keberagaman dan keanggunan perempuan Indonesia.

Dubes RI untuk Takhta Suci, Trias Kuncahyono, menegaskan bahwa acara ini bukan hanya perayaan hubungan diplomatik, melainkan juga medium penting untuk memperkenalkan budaya Indonesia secara lebih dekat kepada dunia. Dalam sambutannya, ia menyampaikan, "Malam ini kita bisa bersama belajar memakai kain batik bersama Wisni yang spesial datang dari Jakarta untuk mengajari Anda semua memakai kain yang praktis dengan berbagai cara."

Bukan hanya soal tampilan luar, acara ini juga menyelipkan pesan edukatif yang mendalam. Filosofi kebaya dan kain sebagai warisan budaya disampaikan melalui berbagai sesi yang inspiratif. Atie Nitiasmoro, istri Dubes RI untuk Vatikan, menjelaskan bahwa Hari Kebaya Nasional lahir dari inisiatif perempuan Indonesia yang bergabung dalam berbagai komunitas untuk mengembalikan kebaya sebagai busana harian perempuan Tanah Air.

Kampanye ini direspons dengan banyaknya perempuan kembali memakai kebaya di berbagai aktivitas hariannya, mulai dari antar anak sekolah, ke kantor, belanja sampai hang out, tutur Atie. Ia juga menekankan bahwa kecintaan terhadap kebaya tak berhenti di dalam negeri, tetapi ikut terbawa ke mancanegara. "Mereka juga bangga berkebaya lengkap dengan kain batik atau tenun saat bepergian ke luar negeri," lanjutnya.

Momentum ini semakin kuat dengan pengakuan dari UNESCO pada Desember 2024, yang menetapkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda. Indonesia bersama empat negara ASEAN lainnya berhasil mengajukan kebaya sebagai nominasi bersama (joint nomination) dan mendapatkan pengakuan dunia. Hal ini memberi legitimasi yang lebih besar terhadap gerakan pelestarian kebaya.

Konsistensi dalam memakai kebaya juga terlihat dari sosok Atie Nitiasmoro sendiri. Dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun santai di Roma, ia selalu tampil anggun dengan balutan kebaya. "Di Roma-pun dalam mendampingi suaminya bertugas, baik acara formal atau santai, saya selalu memakai kebaya. Saat datang acara di Vatikan yang dihadiri Paus, saya berkebaya dan saya juga berkebaya ke Colosseum sambil menikmati pasta dan gelato," cerita Atie yang disambut tawa hangat dari hadirin.

Puncak acara malam itu adalah fashion show kebaya yang melibatkan anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Vatikan dan DWP KBRI Roma, termasuk juga anak-anak mereka. Para tamu undangan tampak antusias dan terpukau dengan keindahan serta variasi kebaya yang ditampilkan. Ajang ini bukan sekadar parade busana, tetapi juga perwujudan dari identitas budaya yang semakin mengakar.

Namun acara belum berakhir. Yang paling ditunggu adalah sesi tutorial memakai kain batik praktis tanpa tali atau peniti, dipandu langsung oleh Wisni W. Drupadi. Teknik yang ia ajarkan memadukan kenyamanan dan estetika, sehingga para diplomat perempuan bisa mempelajari cara memakai kain secara mudah namun tetap stylish. Meski sempat kebingungan di awal, para peserta akhirnya mampu mengikuti instruksi dengan baik.

Tiga gaya berkain diperagakan oleh Wisni, dan peserta pun bersemangat mengikuti setiap langkah. Untuk menambah semarak, dipilih tiga diplomat dengan tampilan kain paling rapi dan kreatif sebagai juara. Momen ini pun semakin memeriahkan suasana dan menciptakan pengalaman tak terlupakan bagi para tamu.

Setelah rangkaian acara budaya selesai, suasana hangat dilanjutkan dengan sajian kuliner khas Indonesia. Hidangan seperti soto ayam, perkedel, tahu-tempe goreng, kue Sosis Solo, dan Lapis Surabaya langsung ludes diserbu para tamu. Namun salah satu yang paling menarik perhatian adalah minuman tradisional kunyit asam. "Ini minuman enak sekali," ujar sejumlah diplomat sambil menikmati segelas demi segelas minuman berwarna kuning cerah itu.

Perayaan diplomatik ini membuktikan bahwa diplomasi tidak hanya terjadi melalui pidato dan perjanjian, tetapi juga lewat pendekatan budaya yang menyentuh hati. Kebaya, kain batik, serta jamuan tradisional menjadi duta yang memperkenalkan wajah Indonesia kepada dunia dengan cara yang lebih lembut, penuh pesona, dan autentik.

Dengan acara ini, Indonesia kembali menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi juga instrumen penting dalam memperkuat hubungan internasional. Di balik keanggunan kebaya dan kepraktisan kain batik, tersimpan narasi besar tentang identitas, kebanggaan, dan semangat pelestarian budaya yang patut dibawa melintasi batas negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index