JAKARTA - Transisi menuju energi bersih di Indonesia semakin nyata terlihat melalui pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, hingga saat ini tercatat sebanyak 10.882 pelanggan PLN telah menikmati aliran listrik dari PLTS atap dengan kapasitas terpasang mencapai 538 megawatt peak (MWp). Capaian tersebut menunjukkan adanya peningkatan minat masyarakat, industri, maupun sektor komersial untuk beralih ke sumber energi terbarukan.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menjelaskan bahwa pemerintah tidak berhenti pada capaian yang sudah ada. Pihaknya menargetkan kapasitas PLTS atap bisa menembus 1 gigawatt (GW) hingga akhir tahun. “Harapan kami pada tahun ini untuk PLTS atap ini bisa mencapai 1 GW untuk PLTS atap sendiri, di luar PLTS lain,” ujarnya.
Lebih jauh, pemerintah telah menyusun target jangka menengah hingga 2028, yaitu kapasitas PLTS atap sebesar 2 GW. Pencapaian ini akan tersebar di beberapa wilayah Indonesia, antara lain Jawa, Madura, Bali (Jamali) sebesar 1.850 MW, Kalimantan 104 MW, Sumatera 95 MW, Sulawesi 17 MW, serta Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara (Mapana) sebesar 7 MW.
Fokus pada PLTS Skala Besar
Selain PLTS atap, perhatian pemerintah juga diarahkan pada pengembangan PLTS skala besar. Hingga 2034, target kapasitas PLTS terapung dan darat mencapai 17 GW. Angka ini tidak hanya mencerminkan ambisi, tetapi juga menunjukkan arah strategi jangka panjang untuk mempercepat bauran energi terbarukan.
Feby menambahkan, potensi PLTS terapung di Indonesia sebenarnya sangat besar, yakni mencapai 89,37 GW di 293 lokasi. Rinciannya mencakup 14,7 GW yang dapat dikembangkan di 257 bendungan Kementerian PUPR, serta 74,67 GW yang tersebar di 36 danau besar. Potensi inilah yang diharapkan menjadi penopang utama dalam memperluas pasokan energi bersih nasional.
Sejumlah proyek PLTS terapung kini sudah berada dalam tahap penting. Misalnya, proyek di Saguling, Singkarak, dan Karangkates dengan total kapasitas 210 MW yang saat ini berada di tahap pra-konstruksi. Di sisi lain, PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat sudah resmi beroperasi dengan kapasitas 145 MW dan menjadi salah satu contoh nyata keberhasilan implementasi energi surya skala besar di Indonesia.
Program Dedieselisasi dan Energi untuk Daerah 3T
Langkah lain yang juga tengah dilakukan pemerintah adalah program dedieselisasi. Program ini bertujuan mengganti penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel dengan PLTS atau pembangkit energi terbarukan lainnya. Strategi tersebut tidak hanya menekan emisi, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif dan mahal.
Selain itu, pemerintah menyiapkan alokasi pendanaan dari APBN dan dana alokasi khusus untuk memperkuat akses energi bersih di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Dengan cara ini, masyarakat di desa-desa terpencil tetap dapat menikmati listrik ramah lingkungan sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka.
Tantangan yang Mengiringi
Meski berbagai program dan target telah dirancang, pengembangan PLTS di Indonesia tidak lepas dari tantangan. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai masih ada sejumlah hambatan, terutama dalam hal mekanisme pengadaan energi terbarukan.
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra, menyebutkan bahwa evaluasi terbesar ada pada sistem pengadaan. “Evaluasi terbesarnya adalah di mekanisme pengadaannya, bagaimana selama ini mekanisme pengadaan EBT (energi baru dan terbarukan) itu masih belum memiliki kerangka yang jelas,” ungkap Alvin.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun terdapat regulasi baru seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang mengubah batasan harga jual listrik, pengadaan di PLN tetap menjadi kendala utama. Hal ini bisa memengaruhi minat investor maupun kelancaran proyek-proyek yang sudah direncanakan.
Tantangan lainnya muncul pada tahap persiapan proyek. Alvin mencontohkan proyek PLTS di Bali bagian barat yang sempat terkendala akuisisi lahan. Permasalahan seperti ini dinilai harus segera diatasi agar tidak menghambat jadwal konstruksi dan realisasi proyek.
Karena itu, Alvin menekankan pentingnya transparansi dalam seluruh proses, mulai dari perencanaan, perizinan, hingga ketersediaan data. “Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam perencanaan sistem, data, dan perizinan, misalnya melalui aplikasi,” tegasnya.
Jalan Panjang Menuju Energi Bersih
Dari sisi pencapaian, perkembangan PLTS di Indonesia menunjukkan sinyal positif. Meningkatnya jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap adalah bukti bahwa masyarakat semakin menyadari manfaat energi surya. Namun, target besar yang ditetapkan pemerintah juga membutuhkan komitmen kuat, terutama dalam menyiapkan regulasi yang jelas, efisien, dan berpihak pada percepatan energi bersih.
Selain itu, kerja sama lintas sektor, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, menjadi faktor penentu keberhasilan. Dengan potensi energi surya yang sangat besar, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu pemain utama energi terbarukan di kawasan Asia. Namun, tanpa penyelesaian hambatan mendasar, target 17 GW PLTS hingga 2034 bisa menjadi sekadar wacana.
Dengan demikian, perjalanan menuju transisi energi bersih melalui PLTS bukan hanya soal membangun infrastruktur, melainkan juga memperkuat sistem tata kelola. Jika semua tantangan dapat diatasi, maka cita-cita menyediakan listrik ramah lingkungan untuk seluruh masyarakat Indonesia bisa segera terwujud.