Pemerintah Evaluasi Kebijakan Royalti Nikel, Smelter Keluhkan Harga Patokan Mineral yang Tinggi

Jumat, 02 Mei 2025 | 12:16:43 WIB
Pemerintah Evaluasi Kebijakan Royalti Nikel, Smelter Keluhkan Harga Patokan Mineral yang Tinggi

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) untuk bijih nikel yang baru diterapkan pada 1 April 2025. Kebijakan ini memicu keluhan dari pelaku industri, khususnya smelter, yang menganggap harga patokan terlalu tinggi dan berdampak pada sulitnya penjualan produk.

Kebijakan HPM Dinilai Tidak Sesuai dengan Kondisi Pasar

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengakui adanya ketidakcocokan antara harga jual produk nikel dan HPM yang ditetapkan. Ia menjelaskan, "Letak masalahnya itu, ya sebetulnya karena antara pembeli sama penjual belum ketemu itu harganya."

Tri menambahkan bahwa pihaknya terbuka terhadap masukan dari pengusaha dan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tersebut. "Nanti, pokoknya kita terbuka lah. Itu kan bukan kitab suci. Akhirnya kalau aturan, ya. Kalau misalnya di evaluasi, kita lakukan evaluasi," ujarnya.

Smelter Keluhkan Harga Patokan yang Tinggi

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), salah satu perusahaan smelter nikel terbesar di Indonesia, menyatakan kesulitan dalam menjual produk akibat tingginya HPM. Direktur Utama ANTM, Nico Kanter, mengungkapkan bahwa perusahaan harus membayar royalti berdasarkan HPM yang ditetapkan pemerintah. "Jadi tidak kita jual, kita mengambil keuntungan daripada HPM yang dijadikan sebagai batas minimum," jelasnya.

Nico juga menambahkan bahwa sejak 1 April 2025, ANTM menghentikan sementara penjualan bauksit karena tidak ada pembeli yang bersedia membeli dengan harga HPM yang ditetapkan. "Smelter-smelter yang ada mereka melihat bahwa HPM ini terlalu tinggi harganya. Jadi oleh karena itu kita stop, tidak ada pembelian dan tidak ada pembayaran royalti apa-apa kepada negara," keluhnya.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Menyuarakan Keprihatinan

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga menyuarakan keprihatinannya terhadap kebijakan HPM yang baru. Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menilai bahwa kenaikan tarif royalti yang signifikan dapat menekan margin produksi dan memicu penutupan tambang. "Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang 'sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi'," katanya dalam konferensi pers. 

Meidy juga menambahkan bahwa harga patokan mineral (HPM) untuk bijih nikel berkadar 1,7% Ni dan kelembapan 35% adalah US$30,9 per wet metric ton (wmt). Dengan kenaikan tarif royalti menjadi 14%, maka biaya royalti yang harus dibayarkan mencapai US$4,3 per wmt, yang dinilai lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi sejumlah perusahaan. 

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan Diharapkan

Pemerintah melalui Kementerian ESDM berjanji akan melakukan evaluasi terhadap kebijakan HPM dan tarif royalti nikel. Tri Winarno menegaskan bahwa pihaknya terbuka terhadap masukan dari pengusaha dan akan melakukan perbaikan jika diperlukan. "Nanti, pokoknya kita terbuka lah. Itu kan bukan kitab suci. Akhirnya kalau aturan, ya. Kalau misalnya di evaluasi, kita lakukan evaluasi," ujarnya.

Dengan adanya evaluasi dan penyesuaian kebijakan, diharapkan industri nikel Indonesia dapat kembali beroperasi secara optimal dan bersaing di pasar global.

Terkini