Ekspor Minyak Sawit RI Didorong Tarif AS

Kamis, 17 Juli 2025 | 11:46:59 WIB
Ekspor Minyak Sawit RI Didorong Tarif AS

JAKARTA - Langkah pemerintah Amerika Serikat memangkas tarif impor minyak sawit menjadi 19 persen disambut positif oleh pelaku industri sawit di Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada volume ekspor, tetapi juga memperkuat posisi strategis Indonesia sebagai pemain dominan dalam perdagangan minyak nabati dunia, khususnya di pasar Amerika.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menetapkan tarif baru itu memberikan peluang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor minyak sawit ke negeri Paman Sam. Pasalnya, selama ini Indonesia telah memegang pangsa pasar hingga 89 persen untuk produk sawit di AS.

“Menurut saya ini sudah sangat bagus karena kita surplus terhadap US, khusus untuk sawit pangsa pasar kita 89%, jadi sangat tinggi,” ujar Ketua Umum Gapki, Eddy Martono.

Ia menyebut bahwa langkah ini menjadi angin segar bagi neraca perdagangan Indonesia, yang mencatatkan surplus sebesar USD 5,44 miliar terhadap AS dalam periode Januari hingga April 2025.

Tren Positif Ekspor Sawit

Dalam lima tahun terakhir, ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat menunjukkan tren pertumbuhan positif, meskipun sempat mengalami sedikit penurunan pada 2024. Tercatat, ekspor mencapai 2,5 juta ton pada 2023 dan turun menjadi 2,2 juta ton di tahun berikutnya. Namun, Eddy optimistis bahwa relaksasi tarif akan mendorong peningkatan volume secara signifikan.

“Saya yakin kalau digarap dengan serius, 2 sampai 3 tahun ke depan bisa tembus ke 3 juta ton,” tambahnya.

Eddy juga menilai bahwa pasar AS kini bergantung pada minyak sawit Indonesia, sehingga meskipun margin keuntungan mungkin akan sedikit terpengaruh oleh tarif baru, posisi dominan RI tidak akan goyah.

"Yang terkena beban adalah konsumen di US. Jadi kalau mereka tetap membutuhkan minyak sawit, seharusnya pangsa pasar tetap terjaga," ujarnya.

Diplomasi Ekonomi yang Berbuah Manis

Keberhasilan dalam negosiasi pemangkasan tarif ini tidak lepas dari langkah diplomatik Presiden Prabowo Subianto. Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Donald Trump, Indonesia tidak hanya mengamankan penurunan tarif dari 32% menjadi 19%, tetapi juga menjalin berbagai kesepakatan strategis lain.

Beberapa di antaranya adalah pembelian produk energi dari AS senilai USD 15 miliar, produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, hingga pengadaan 50 unit pesawat Boeing terbaru. Kesepakatan ini dinilai sebagai lompatan penting dalam penguatan hubungan dagang kedua negara.

Langkah ini juga menjadi cerminan dari posisi Indonesia yang semakin strategis dalam lanskap perdagangan global. Di tengah dinamika politik internasional, Indonesia mampu menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi dapat menjadi alat efektif untuk memperoleh keuntungan nasional.

Dampak Ekonomi Tetap Terukur

Meski dinilai positif, sejumlah pihak mengingatkan bahwa dampak kebijakan tarif terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan tidak bersifat signifikan.

“Ekspor ke AS hanya sekitar 10% dari total ekspor kita. Bahkan dalam skenario terburuk, dampaknya terhadap PDB nasional hanya sekitar 2%. Terasa, tetapi tidak mengguncang fondasi ekonomi,” ujar Gundy Cahyadi.

Menurut Gundy, kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Trump juga tak bisa dilepaskan dari konteks retorika politik yang kerap mewarnai kebijakan luar negerinya.

“Pasar sudah cukup terbiasa dengan gaya teatrikal Trump. Investor mulai memahami pola lama: ancaman di depan layar, negosiasi di balik layar,” ungkapnya.

Menatap Jangka Panjang: Peran Global dan Investasi

Selain soal tarif, Gundy menekankan pentingnya Indonesia untuk tetap fokus pada upaya menarik investasi asing dan memperkuat kerja sama internasional. Ia menilai bahwa kebijakan luar negeri Presiden Prabowo telah menunjukkan arah yang jelas, di mana Indonesia tidak hanya menjadi pengikut, tetapi juga aktor dalam dinamika global.

Keputusan Presiden Prabowo untuk menghadiri KTT BRICS, meskipun mendapat tekanan dari AS, juga dinilai sebagai langkah strategis yang memperlihatkan independensi politik luar negeri Indonesia.

“Keputusan Presiden untuk hadir di KTT BRICS meski ada tekanan dari Trump menunjukkan bahwa Indonesia tidak bermain dalam panggung orang lain. Jika Trump tampil dengan drama, maka Jakarta sedang menulis naskahnya sendiri,” tegas Gundy.

Optimisme yang Beralasan

Secara keseluruhan, pelaku industri dan pengamat ekonomi sama-sama melihat bahwa pemangkasan tarif impor AS menjadi peluang besar bagi Indonesia. Tidak hanya dalam konteks perdagangan sawit, tapi juga sebagai batu loncatan untuk memperkuat posisi dalam perdagangan internasional.

Dengan diplomasi yang konsisten, data perdagangan yang mendukung, dan orientasi kebijakan yang jelas, Indonesia diyakini mampu mengoptimalkan momentum ini untuk kepentingan jangka panjang.

Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa peningkatan ekspor berjalan seiring dengan praktik berkelanjutan dan transparansi industri sawit, agar daya saing Indonesia tetap kuat di pasar global yang semakin selektif terhadap isu lingkungan dan etika produksi.

Terkini

Penyeberangan Tigaras Simanindo Kembali Beroperasi

Kamis, 17 Juli 2025 | 08:54:01 WIB

Manfaat Madu untuk Kecantikan Kulit

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:01:32 WIB

10 Destinasi Wisata Ramah Muslim

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:04:30 WIB

Dominasi BYD di Pasar EV Kian Kuat

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:11:14 WIB