JAKARTA - Dalam upaya memperkuat basis penerimaan negara, pemerintah dan Komisi XI DPR RI sedang menggulirkan rencana untuk menerapkan bea keluar (bea ekspor) terhadap sejumlah komoditas strategis, termasuk batu bara. Namun, langkah ini menuai sorotan dari kalangan pelaku industri, terutama dari sektor pertambangan yang kini menghadapi tekanan pasar global dan regulasi domestik.
Salah satu suara kritis datang dari Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arsal Ismail. Ia menyampaikan secara terbuka bahwa penerapan bea keluar terhadap batu bara perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan kondisi industri saat ini yang belum sepenuhnya stabil. Arsal menekankan, para pelaku usaha masih menunggu kejelasan regulasi dan berharap pemerintah bersikap bijak dalam mengambil keputusan.
"Bea keluar itu kan kita menunggu, kan peraturannya kan belum, ini kan baru sedang diproses kan. Kalau kondisi lagi yang sekarang ini ya kita hanya minta mohon dipertimbangkan kembali lah ya," ujarnya.
- Baca Juga Elnusa Perkuat Strategi Energi Nasional
Pernyataan itu disampaikan Arsal saat ditemui di kompleks Gedung DPR RI. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa menambah beban pelaku usaha yang sudah dibayangi oleh berbagai tantangan, baik dari sisi harga jual komoditas global maupun tekanan regulasi dalam negeri.
Ketika ditanya lebih lanjut apakah rencana ini akan berdampak signifikan terhadap industri, Arsal memberikan jawaban singkat namun tegas. "Iya (memberatkan), saat ini."
Pernyataan ini menggambarkan kekhawatiran yang meluas di kalangan pelaku usaha tambang. Pasalnya, harga batu bara global yang tengah dalam tren menurun membuat kondisi bisnis menjadi kurang menguntungkan. Sementara itu, biaya produksi dan berbagai kewajiban fiskal lain tetap harus dipenuhi, sehingga rencana tambahan bea ekspor dinilai dapat memperburuk daya saing pelaku industri nasional.
"Kondisi sekarang harga (batu bara) lagi tidak bagus, kami juga masih banyak beban, tentunya ya harapan kami ya masih dipertimbangkan kembali. Pak Menteri ESDM juga kan sudah akan melihat dengan situasi dan kondisinya kan tidak bagus," jelas Arsal.
Pemerintah memang memiliki alasan kuat dalam memperluas basis pajak, terutama di tengah kebutuhan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Namun, Arsal menilai kebijakan tersebut harus disesuaikan dengan dinamika pasar. Ia tidak menolak sepenuhnya wacana bea ekspor, tetapi lebih menekankan pentingnya waktu pelaksanaan yang tepat agar tidak justru menjadi beban baru di saat industri sedang lesu.
"Jadi kalau misalnya ada kita keuntungannya naik, ada bea keluar itu kan wajar-wajar saja," tambahnya.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya keterbukaan dari pelaku usaha terhadap kontribusi fiskal yang lebih besar, asalkan diberlakukan pada momentum yang tepat. Menurut Arsal, jika harga batu bara global kembali menguat dan perusahaan mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar, maka penerapan bea keluar dapat diterima secara rasional oleh dunia usaha.
Dalam situasi saat ini, para pelaku industri berharap adanya komunikasi terbuka dan pengambilan kebijakan yang mempertimbangkan aspirasi dari berbagai pihak. Apalagi, industri batu bara merupakan salah satu sektor andalan dalam struktur perekonomian nasional, terutama sebagai penyumbang devisa dan pencipta lapangan kerja.
Wacana pengenaan bea ekspor ini bukan pertama kali muncul. Sebelumnya, pemerintah juga pernah mempertimbangkan skema serupa terhadap sejumlah komoditas tambang untuk mendorong hilirisasi dan menambah nilai tambah di dalam negeri. Namun, dalam konteks batu bara, yang sebagian besar masih diekspor dalam bentuk bahan baku, penerapan bea keluar bisa berdampak langsung terhadap volume perdagangan dan struktur biaya perusahaan.
Selain itu, sejumlah kalangan mencemaskan bahwa kebijakan ini bisa menurunkan daya saing batu bara Indonesia di pasar internasional, terutama jika negara lain tidak menerapkan kebijakan serupa. Hal ini bisa mempengaruhi posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar dunia, yang selama ini mengandalkan pasar ekspor ke negara-negara seperti India, China, dan Jepang.
Bagi perusahaan seperti PTBA yang sedang menjalankan program efisiensi dan ekspansi pasar, kejelasan kebijakan fiskal menjadi sangat penting. Ketidakpastian aturan bisa memengaruhi perencanaan keuangan dan operasional, termasuk dalam hal investasi jangka panjang dan pengembangan wilayah tambang baru.
Meskipun demikian, Arsal tetap menyatakan komitmen PTBA untuk mendukung kebijakan pemerintah, selama keputusan tersebut disesuaikan dengan kondisi objektif di lapangan. Harapannya, pemerintah dapat memberikan ruang dialog yang lebih luas agar kebijakan bea keluar benar-benar mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan keberlangsungan industri.
Dengan pernyataan terbuka dari Direktur Utama PTBA ini, perdebatan seputar rencana pengenaan bea keluar atas batu bara diperkirakan akan terus berlanjut dalam waktu dekat. Kini, bola panas ada di tangan pemerintah dan DPR untuk merumuskan kebijakan fiskal yang berkeadilan tanpa menimbulkan gejolak baru di sektor energi nasional.