Ketergantungan Gadget Ganggu Kesehatan

Senin, 04 Agustus 2025 | 09:19:40 WIB
Ketergantungan Gadget Ganggu Kesehatan

JAKARTA - Ketergantungan terhadap teknologi digital bukan hanya mengubah pola hidup, tapi juga memengaruhi kondisi psikologis masyarakat, terutama remaja. Di tengah gempuran informasi dan derasnya interaksi di media sosial, muncul satu ancaman yang jarang disadari: kesehatan mental yang terganggu akibat penggunaan gadget yang berlebihan.

Saat ini, internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, lebih dari 79,5% populasi Indonesia telah terhubung ke internet. Sementara itu, Indonesia bahkan menempati peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah pengguna TikTok tertinggi di dunia, mencapai lebih dari 157 juta pengguna. Meski menggembirakan dari sisi kemajuan digital, fenomena ini menyimpan sisi kelam yang mulai terkuak.

Remaja: Generasi yang Rentan Terpapar Tekanan Digital

Salah satu kelompok yang paling terdampak oleh masifnya penggunaan gadget dan media sosial adalah remaja. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 29% remaja usia 10–19 tahun di Indonesia menunjukkan gejala gangguan kesehatan mental. Angka ini merupakan sinyal bahaya yang tak boleh diabaikan.

Dalam kehidupan remaja masa kini, aktivitas daring telah menjadi bagian dari identitas sosial. Namun, interaksi digital yang tanpa batas sering kali menimbulkan kecemasan, tekanan sosial, dan perasaan tidak cukup baik. Paparan berlebihan terhadap media sosial tanpa pendampingan atau edukasi yang memadai meningkatkan kerentanan terhadap stres dan depresi.

Gambaran di Ibu Kota: Depresi dan Gangguan Emosional

Di Jakarta, situasi ini terlihat jelas. Menurut dr. Herwin Meifendy, Kepala Suku Dinas Kesehatan, sekitar 5,91% penduduk Jakarta mengalami depresi. Dari jumlah tersebut, 0,06% menderita gangguan kejiwaan berat, dan 0,44% pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup.

“Gangguan mental emosional tercatat sebesar 10,01%, dan gangguan berat mencapai 6,6%,” ungkap dr. Herwin.

Fakta ini menggambarkan bahwa isu kesehatan mental bukan hanya permasalahan individu, tetapi persoalan sosial yang perlu mendapat perhatian kolektif. Stigma terhadap penderita gangguan mental dan keterbatasan akses ke layanan kesehatan jiwa menjadi hambatan besar dalam upaya penanganan.

Risiko Serius: Depresi Sebagai Penyebab Disabilitas dan Kematian

Lebih dari sekadar perasaan sedih, depresi menjadi penyebab utama disabilitas di kalangan remaja, sebagaimana dicatat oleh Kementerian Kesehatan. Gangguan ini bahkan menjadi penyebab kematian keempat remaja di dunia, sebuah kenyataan tragis di balik senyuman di balik layar ponsel mereka.

Survei kesehatan mental remaja Indonesia pada tahun 2022 menemukan bahwa 5,5% remaja usia 10–17 tahun mengalami gangguan mental, dengan 1% di antaranya mengalami depresi. Angka-angka ini memberi gambaran tentang betapa pentingnya edukasi kesehatan jiwa di tengah pesatnya transformasi digital.

Peringatan dari Praktisi dan Korporasi

Sejumlah tokoh di sektor pendidikan dan industri juga menyuarakan keprihatinannya. Rachel Yiska Setyadi, Vice President Sales Marketing PT Indomobil Edukasi Utama, menekankan bahwa penggunaan media sosial bisa sangat berisiko bagi kesehatan mental generasi muda.

“Di balik manfaat teknologi digital, ada potensi kerugian yang signifikan jika gadget digunakan secara berlebihan,” jelasnya.

Hal senada disampaikan Harry Iskandar, Country Manager untuk Volvo Buses Indonesia. Ia menegaskan bahwa semua pihak harus waspada terhadap efek jangka panjang penggunaan teknologi digital yang tidak terkontrol.

“Pendidikan mengenai digitalisasi perlu diberikan sejak dini agar generasi muda dapat menjadi lebih tangguh di masa depan,” katanya.

Menurut Harry, tantangan zaman kini bukan hanya tentang bagaimana mengakses informasi, tetapi bagaimana memilah dan mengelola paparan tersebut agar tidak menimbulkan tekanan emosional yang berlebihan.

Solusi: Edukasi, Dukungan, dan Akses Layanan Mental

Kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental seiring dengan pertumbuhan dunia digital kini menjadi keharusan. Edukasi sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, menjadi fondasi penting untuk membekali anak muda agar mampu menghadapi tekanan sosial di era media digital.

Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan mereka yang mengalami gejala gangguan mental tidak boleh merasa terisolasi. Akses ke layanan profesional dan konseling psikologis harus diperluas, terutama di daerah-daerah dengan tingkat tekanan sosial tinggi.

Konsultasi dengan tenaga ahli menjadi langkah awal yang bijak bagi siapa saja yang merasa cemas, depresi, atau memiliki masalah emosional. Pemerintah pun diharapkan mampu menghapus stigma terhadap gangguan kejiwaan melalui program edukasi dan dukungan kebijakan yang inklusif.

Membangun Ketahanan Mental di Era Digital

Teknologi memang memberi kemudahan dan konektivitas, tetapi juga membawa tantangan baru yang tak bisa dianggap remeh. Membangun ketahanan mental menjadi prasyarat utama agar generasi muda tidak hanya cerdas digital, tetapi juga tangguh secara emosional.

Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat, diharapkan terbentuk ekosistem yang sehat bagi perkembangan jiwa anak-anak dan remaja Indonesia. Di balik layar yang menyala, mari pastikan tidak ada jiwa yang terabaikan.

Terkini

BYD Masuk 20 Besar Mobil Terlaris

Rabu, 13 Agustus 2025 | 11:28:33 WIB

JNE Karawang Perluas Layanan

Rabu, 13 Agustus 2025 | 15:46:57 WIB

Kirim Barang Lewat JNT Express

Rabu, 13 Agustus 2025 | 16:00:56 WIB

Pos Indonesia Layani Penerima BSU

Rabu, 13 Agustus 2025 | 16:07:15 WIB

Proyek MRT Jakarta

Rabu, 13 Agustus 2025 | 16:11:49 WIB