JAKARTA - Laporan terbaru dari Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan bahwa kebebasan pers global telah mencapai titik terendah dalam 23 tahun terakhir. Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 menyoroti penurunan signifikan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang kini berada pada peringkat 57, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya .
Situasi Global: Lebih dari Setengah Dunia Hidup di Negara dengan Kebebasan Pers Terbatas
RSF melaporkan bahwa lebih dari separuh populasi dunia kini tinggal di negara-negara dengan situasi kebebasan pers yang "sangat serius". Hal ini mencerminkan semakin sulitnya jurnalis untuk menjalankan tugas mereka tanpa menghadapi ancaman fisik, hukum, atau ekonomi. Indeks ini mengevaluasi negara-negara berdasarkan lima kategori: politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan .
Amerika Serikat: Penurunan Drastis di Bawah Kepemimpinan Trump
Situasi kebebasan pers di Amerika Serikat mengalami penurunan yang signifikan sejak Donald Trump menjabat sebagai presiden pada Januari 2025. RSF mencatat bahwa masa jabatan kedua Trump telah menyebabkan kemerosotan yang mengkhawatirkan dalam kebebasan pers, yang mengindikasikan adanya pergeseran otoriter dalam pemerintahan .
Salah satu langkah kontroversial yang diambil adalah pemotongan dana untuk lembaga penyiaran yang didanai negara, seperti Voice of America (VOA) dan Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL). Keputusan ini menyebabkan ratusan jurnalis kehilangan pekerjaan dan akses ke kantor mereka, serta diminta mengembalikan peralatan kerja seperti kartu pers dan ponsel dinas .
Selain itu, Trump juga menandatangani perintah eksekutif untuk menghentikan pendanaan federal bagi penyiar publik seperti NPR dan PBS, dengan alasan bias. Langkah ini semakin memperburuk situasi kebebasan pers di negara tersebut .
Pembatasan Akses Media di Gedung Putih
Pemerintahan Trump juga mengambil langkah untuk membatasi akses media ke Gedung Putih. Pada Februari 2025, Gedung Putih mengumumkan bahwa mereka akan menentukan sendiri kelompok jurnalis yang berhak meliput kegiatan presiden, menggantikan peran Asosiasi Koresponden Gedung Putih (WHCA) yang selama ini independen dalam menentukan akses media .
Keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai organisasi media. Presiden WHCA, Eugene Daniels, menyebut langkah tersebut sebagai upaya pemerintah untuk memilih jurnalis yang meliput presiden, yang menurutnya mencabik-cabik kebebasan pers di Amerika Serikat .
Faktor Ekonomi dan Disinformasi sebagai Penyebab Utama
RSF menyoroti bahwa selain ancaman fisik terhadap jurnalis, faktor ekonomi juga berperan besar dalam penurunan kebebasan pers. Pendapatan iklan digital yang meningkat pesat seringkali tidak mengalir ke media berita, melainkan ke perusahaan teknologi besar seperti Meta, Google, dan Amazon. Hal ini menyebabkan banyak media independen kesulitan secara finansial dan rentan terhadap tekanan politik .
Selain itu, perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan, telah mempermudah penyebaran disinformasi. RSF mencatat bahwa konten palsu dan propaganda semakin sulit dibedakan dari informasi yang benar, yang mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya .
Tantangan di Negara-Negara Lain
Situasi kebebasan pers juga memprihatinkan di negara-negara lain. Di Jepang, misalnya, sistem "Kisha Kurabu" atau klub pers yang didukung pemerintah membatasi akses jurnalis dan menyebabkan penyensoran diri di media. Profesor Renge Jibu dari Tokyo Institute of Technology menyatakan bahwa meskipun kebebasan berbicara dijamin oleh konstitusi, sistem klub pers menyebabkan Jepang memiliki peringkat kebebasan pers yang sangat rendah .