JAKARTA - Masyarakat yang memiliki tunggakan pinjaman online (pinjol), bahkan dalam jumlah kecil sekalipun, berisiko gagal mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, yang menyoroti efek domino dari riwayat kredit bermasalah terhadap akses pembiayaan rumah, terutama bagi kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Menurut Junaidi, tunggakan pinjol sekecil apa pun tetap tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Catatan negatif dalam sistem ini bisa menjadi penghalang utama bagi masyarakat yang ingin mengajukan KPR ke lembaga perbankan atau pembiayaan lainnya.
"SLIK itu ada semacam standar kolektivitasnya. Kalau itu memang karena pinjol, saya pikir perlu pertimbangan. Karena ini tidak seberapa, ada yang tunggakan Rp20.000, ratusan ribu, tapi masyarakat dihukum seumur hidup, tidak bisa KPR," kata Junaidi.
Masalah Pinjol Jadi Penghalang Kepemilikan Rumah
Dalam praktiknya, SLIK digunakan oleh perbankan untuk menilai kelayakan kredit calon debitur. Jika ada catatan buruk—tak terkecuali dari pinjaman online—maka pengajuan KPR bisa langsung ditolak. Padahal, banyak pinjol hanya memberikan pinjaman dalam jumlah kecil, namun karena kemudahan pencairan dan fleksibilitasnya, layanan ini kerap digunakan oleh masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk MBR.
"Inilah yang merugikan masyarakat. Kalau SLIK digunakan untuk menyaring calon konsumen, kita setuju. Filter memang perlu. Tetapi kalau hanya karena pinjol lalu tidak bisa KPR, saya pikir harus ada jalan keluar," tambah Junaidi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa meskipun nominal tunggakan sangat kecil, proses pelunasan sering kali menjadi sulit karena perusahaan pinjol terkait sudah tidak lagi beroperasi. Akibatnya, masyarakat tetap memiliki catatan kredit yang buruk meskipun sebenarnya berniat baik untuk menyelesaikan kewajibannya.
"Misalnya, seperti saya contohkan, pernah macet di pinjol Rp20.000, tapi perusahaan pinjol tidak ada lagi. Orang tidak bisa melunasi, tetapi tetap dia tercatat punya kolektivitas jelek," ujarnya.
Dampak Sistemik terhadap Backlog Perumahan
Fenomena ini dinilai APERSI berpotensi memperparah backlog perumahan nasional yang kini sudah menembus angka 15 juta unit. Padahal, pemerintah tengah menggencarkan program pembangunan rumah rakyat, termasuk target 3 juta rumah untuk masyarakat menengah ke bawah.
"Program 3 juta yang diproyeksikan bakal banyak proyek perumahan baru akan sulit terserap pasar meski punya harga murah karena terganjal SLIK OJK," ucap Junaidi.
Artinya, meskipun suplai rumah terjangkau tersedia, daya serap masyarakat menjadi rendah akibat kesulitan mengakses pembiayaan formal seperti KPR, yang syaratnya mengharuskan riwayat kredit bersih.
Regulasi Pinjol Perlu Dipertegas
APERSI mendorong pemerintah, khususnya OJK, untuk membuat diferensiasi antara riwayat kredit konvensional dan pinjaman online dalam sistem SLIK. Pasalnya, bunga tinggi serta praktik operasional yang tidak transparan dari beberapa perusahaan pinjol menjadi penyebab utama macetnya pembayaran masyarakat.
"Pemerintah perlu membedakan SLIK pinjol dengan kredit lainnya. Karena pinjol itu biasanya jumlahnya kecil, tetapi bunga besar, dan tidak semua pinjol memberikan edukasi keuangan yang cukup kepada nasabah," kata Junaidi.
Ia juga mengusulkan adanya sistem pemutihan atau pengampunan (forgiveness policy) untuk tunggakan pinjol kecil yang sudah tidak aktif atau tidak bisa ditelusuri lagi, terutama yang nilainya tidak signifikan. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kedua kepada masyarakat agar bisa kembali mengakses kredit formal.
Pinjol: Solusi Cepat, Risiko Tinggi
Pinjaman online sejatinya menjadi solusi cepat bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan finansial jangka pendek. Namun di sisi lain, tanpa kontrol yang ketat, pinjol bisa menimbulkan jeratan utang yang sulit dilunasi, terutama ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang suku bunga, denda keterlambatan, dan konsekuensi gagal bayar.
Meskipun OJK telah menertibkan banyak perusahaan pinjol ilegal dan menetapkan bunga maksimum yang diperbolehkan, praktik di lapangan masih menunjukkan bahwa banyak masyarakat tertipu oleh janji manis pinjaman mudah, namun harus membayar mahal dalam jangka panjang.
Dalam konteks kepemilikan rumah, kondisi ini menjadi ironi tersendiri. Di saat pemerintah sedang gencar mendorong program perumahan rakyat, justru banyak masyarakat tidak bisa mengakses pembiayaan akibat ‘dosa kecil’ masa lalu di layanan pinjol.
Perlu Pendekatan Solutif dan Edukasi Finansial
Sebagai solusi jangka panjang, APERSI juga mendorong sinergi antara pengembang, perbankan, dan regulator untuk memberikan edukasi keuangan kepada masyarakat secara lebih masif. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami pentingnya menjaga riwayat kredit yang bersih dan memilih sumber pembiayaan yang sesuai dengan kapasitas finansial mereka.
"Pinjol memang fleksibel dan mudah, tapi masyarakat harus diberi pemahaman bahwa itu juga punya konsekuensi besar, termasuk tertutupnya akses terhadap KPR dan produk pembiayaan lain," ujar Junaidi.
Ia menambahkan, jika hal ini tidak segera ditangani, maka target peningkatan kepemilikan rumah nasional berisiko meleset, terutama di segmen MBR yang justru menjadi prioritas utama pemerintah.