JAKARTA - Keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran petani menjadi salah satu indikator penting dalam menilai kesejahteraan pelaku usaha tani di suatu wilayah. Di Bali, hal ini direpresentasikan oleh Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang mencerminkan kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga serta biaya operasional usaha taninya. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa NTP Provinsi Bali mengalami penurunan tipis yang patut dicermati lebih dalam.
Pada bulan Juni, NTP Provinsi Bali tercatat sebesar 102,47, mengalami penurunan sebesar 0,53 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada angka 103,02. Meskipun secara teknis angka tersebut masih di atas ambang batas 100 yang menunjukkan bahwa petani dalam posisi surplus (di mana pendapatan dari pertanian lebih besar dari pengeluaran), penurunan ini menandai adanya tekanan pada daya beli petani akibat dinamika harga komoditas dan biaya hidup.
Penurunan NTP ini bukan terjadi secara merata di seluruh subsektor. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa dari lima subsektor utama penyusun indeks, hanya dua subsektor yang masih mempertahankan posisinya di atas angka 100. Keduanya adalah subsektor tanaman pangan dan subsektor tanaman perkebunan rakyat. Sementara itu, tiga subsektor lainnya, yaitu hortikultura, peternakan, dan perikanan, berada di bawah ambang 100, menandakan tekanan ekonomi lebih besar pada petani di sektor-sektor tersebut.
- Baca Juga Diskon DP Perumahan Grazia Residence
Subsektor tanaman pangan, yang mencakup komoditas utama seperti padi dan palawija, menunjukkan indeks nilai tukar sebesar 100,25 pada bulan Juni. Angka ini turun tipis sebesar 0,09 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 100,35. Penurunan ini terjadi meskipun indeks harga yang diterima petani (It) mengalami kenaikan sebesar 0,40 persen. Namun, kenaikan tersebut ternyata tidak cukup mengimbangi kenaikan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang lebih tinggi, yaitu 0,50 persen.
Kepala BPS Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan, menjelaskan bahwa indeks yang diterima petani (It) naik dari 126,50 menjadi 127,00 pada bulan Juni. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh naiknya indeks kelompok padi sebesar 0,34 persen serta kelompok palawija yang mencatat kenaikan lebih tinggi sebesar 1,34 persen. Meskipun demikian, pengeluaran petani juga meningkat. Ib naik dari 126,06 menjadi 126,68, terdorong oleh dua faktor utama: kenaikan indeks konsumsi rumah tangga sebesar 0,60 persen dan naiknya indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) sebesar 0,14 persen.
Kondisi serupa juga tercermin pada subsektor tanaman perkebunan rakyat. Pada bulan Juni, indeks NTP subsektor ini berada di angka 117,10, turun 1,18 persen dari bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya indeks harga yang diterima petani (It) sebesar 0,76 persen, sementara indeks yang dibayar petani (Ib) justru meningkat 0,42 persen.
Penurunan It di subsektor ini berasal dari melemahnya harga komoditas utama tanaman perkebunan rakyat, khususnya kopi. Jika pada bulan sebelumnya It berada di angka 148,04, maka pada bulan Juni turun menjadi 146,92. Sementara Ib naik dari 124,94 menjadi 125,47. Peningkatan ini kembali disebabkan oleh dua komponen pengeluaran: konsumsi rumah tangga yang naik 0,45 persen dan BPPBM yang turut meningkat sebesar 0,30 persen.
Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada subsektor yang masih menghasilkan nilai tukar positif, ketidakseimbangan antara pendapatan yang diterima dan pengeluaran yang harus dibayar petani tetap menjadi tantangan nyata. Khususnya ketika biaya konsumsi rumah tangga dan biaya produksi terus meningkat, sementara harga jual komoditas tidak naik secara proporsional.
Fenomena ini mencerminkan pentingnya stabilisasi harga dan pengendalian biaya produksi bagi para petani, terutama di tengah dinamika pasar yang cepat berubah. Ketergantungan pada beberapa komoditas utama seperti padi dan kopi juga membuat petani sangat rentan terhadap fluktuasi harga di pasar lokal maupun global.
Dengan mempertahankan NTP di atas 100, pemerintah dan pemangku kepentingan memang telah berhasil menjaga daya beli petani di Bali secara umum. Namun, tren penurunan yang mulai muncul menjadi sinyal bahwa upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi harus terus dilakukan. Selain itu, perlindungan harga komoditas strategis dan intervensi terhadap biaya input pertanian menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan lebih serius.
Di sisi lain, subsektor yang masih tertinggal seperti hortikultura, peternakan, dan perikanan memerlukan perhatian khusus. Program penguatan sektor-sektor ini dapat membantu pemerataan kesejahteraan di antara para petani lintas subsektor. Tanpa intervensi yang tepat, petani di sektor-sektor tersebut berpotensi mengalami penurunan kesejahteraan lebih jauh akibat ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran.
Dengan kata lain, angka NTP bukan sekadar indikator statistik, melainkan cermin dari kondisi ekonomi mikro di tingkat petani. Saat beberapa komoditas utama seperti padi dan palawija masih mampu menopang indeks, sektor lain membutuhkan dukungan untuk menjaga keseimbangan. Penurunan NTP, sekecil apa pun, patut menjadi perhatian agar tak berkembang menjadi tren jangka panjang yang merugikan petani sebagai ujung tombak ketahanan pangan.