JAKARTA - Langkah tegas kembali diambil Kantor Imigrasi Kelas I TPI Yogyakarta dalam upaya menjaga ketertiban dan kedaulatan hukum Indonesia. Kali ini, sebanyak 14 warga negara asing (WNA) dari berbagai negara resmi dideportasi. Langkah ini bukan hanya sekadar tindakan administratif, tetapi menjadi bentuk nyata bahwa pelanggaran keimigrasian tidak akan ditoleransi, sekecil apa pun bentuknya.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Yogyakarta, Tedy Riyandi, menegaskan bahwa keempat belas orang asing tersebut dipulangkan ke negara masing-masing setelah terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia. “Mereka dideportasi ke negara asalnya setelah terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap ketentuan keimigrasian yang berlaku,” ujar Tedy.
Berbagai kasus melatarbelakangi keputusan deportasi ini. Di antaranya adalah seorang warga negara Kanada yang melanggar ketentuan terkait penjamin keimigrasian. Ia diduga tidak melaporkan perubahan penjaminnya, yang merupakan pelanggaran terhadap Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
- Baca Juga Crypto AI Meroket Usai Dukungan Resmi AS
Aturan ini mengharuskan setiap penjamin warga negara asing untuk segera melaporkan perubahan data diri. Kelalaian seperti ini, meskipun tampak sepele, menurut Tedy dapat menimbulkan dampak yang lebih besar. “Mewajibkan setiap penjamin WNA untuk melaporkan perubahan data diri. Kelalaian ini bukan sekadar administratif, melainkan bisa mempersulit pengawasan dan berpotensi menimbulkan risiko data,” jelasnya.
Tak hanya itu, 12 dari total 14 orang asing yang dideportasi berasal dari Filipina. Mereka kedapatan menyalahgunakan fasilitas bebas visa kunjungan. Bebas visa ini sejatinya hanya diperuntukkan bagi kegiatan wisata atau kunjungan keluarga. Namun kenyataannya, mereka melakukan aktivitas lain yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki.
Pelanggaran semacam ini dinilai sangat serius oleh pihak imigrasi karena menyangkut kepercayaan dan integritas sistem visa Indonesia. Dalam sistem bebas visa kunjungan, pemerintah memberikan kemudahan kepada warga negara tertentu sebagai bentuk hubungan bilateral yang baik. Namun penyalahgunaan izin tersebut dapat berdampak negatif dan menimbulkan potensi ancaman dalam pengawasan warga asing di dalam negeri.
Kasus lainnya melibatkan seorang warga negara Korea Selatan yang juga dideportasi akibat dugaan penyalahgunaan izin tinggal. Mirip dengan kasus WNA Filipina, pelanggaran ini berkaitan dengan ketidaksesuaian aktivitas yang dilakukan dengan izin yang dikantongi.
Kepala Kantor Imigrasi Yogyakarta, Tedy Riyandi, menegaskan bahwa tindakan deportasi ini bukan sekadar respons atas pelanggaran, tetapi juga upaya preventif agar tidak terjadi hal serupa di kemudian hari. Tedy menyebutkan bahwa pihaknya tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran aturan keimigrasian, betapapun kecil pelanggaran tersebut.
“Setiap warga negara asing yang tinggal di Indonesia, tanpa terkecuali, memiliki kewajiban untuk mematuhi seluruh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk peraturan keimigrasian,” tegas Tedy.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara hukum yang memberikan ruang kepada siapa pun untuk datang dan tinggal secara sah. Namun, setiap bentuk kunjungan harus didasarkan pada kejujuran dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada. Pendeportasian menjadi salah satu instrumen penting untuk menegakkan hal tersebut.
Selain menjaga tata kelola warga asing, langkah ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam memastikan stabilitas sosial dan keamanan nasional. Ketika pelanggaran imigrasi terjadi, potensi gangguan terhadap sistem sosial, ekonomi, dan keamanan bisa saja muncul. Oleh karena itu, penindakan seperti ini tidak hanya bersifat teknis administratif, tetapi juga strategis secara nasional.
Dalam pernyataan resminya, Tedy menyampaikan bahwa Kantor Imigrasi akan terus melakukan pengawasan secara ketat terhadap WNA yang berada di wilayah kerjanya. Dengan dukungan sistem dan koordinasi bersama instansi terkait, proses pengawasan ini diharapkan dapat menekan angka pelanggaran di masa mendatang.
Kasus serupa sebelumnya juga terjadi di wilayah lain di Indonesia. Sebagai perbandingan, Kantor Imigrasi Jakarta Pusat tercatat telah mendeportasi 76 WNA sejak awal tahun ini karena berbagai pelanggaran serupa. Hal ini mencerminkan bahwa permasalahan pelanggaran keimigrasian tidak hanya menjadi perhatian lokal, melainkan juga skala nasional.
Penegakan hukum keimigrasian di Indonesia kini semakin memperkuat posisi negara dalam melindungi kedaulatan dan integritas wilayahnya. Kebijakan bebas visa atau izin tinggal bukan berarti memberi celah untuk disalahgunakan. Justru, dengan kemudahan yang diberikan, tanggung jawab untuk patuh pada aturan menjadi semakin besar.
Melalui tindakan deportasi ini, Kantor Imigrasi Yogyakarta ingin menegaskan pesan bahwa aturan bukanlah formalitas semata, melainkan fondasi dari tertibnya kehidupan bersama. Bagi warga negara asing yang hendak datang dan tinggal di Indonesia, memahami dan mematuhi peraturan keimigrasian merupakan bentuk penghormatan terhadap negara tempat mereka berada.
Dengan demikian, deportasi terhadap 14 WNA tersebut menjadi refleksi atas konsistensi pemerintah dalam menjaga ketertiban dan kedaulatan negara. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang dihormati, adil, dan taat hukum.