JAKARTA - Memasuki paruh kedua tahun 2025, sektor perhotelan menyimpan harapan baru setelah babak pertama tahun ini diliputi tekanan berat. Pelaku industri meyakini akan ada perbaikan kinerja, meskipun pada semester pertama mereka terpaksa menghadapi hantaman keras akibat efisiensi anggaran pemerintah.
Sejak awal tahun, sejumlah hotel, khususnya hotel-hotel bintang tiga dan empat, melaporkan anjloknya tingkat okupansi kamar dan penyewaan ruang pertemuan. Efisiensi anggaran pemerintah terhadap kementerian dan lembaga secara langsung memangkas aliran tamu dari kegiatan-kegiatan berbasis APBN yang selama ini menjadi salah satu penopang utama bisnis hotel, terutama yang berorientasi pada segmen tamu korporat dan instansi.
Wakil Ketua Umum sebuah asosiasi manajemen hotel menjelaskan bahwa tekanan bisnis hotel bintang tiga sangat nyata. "Secara singkat, untuk hotel-hotel bintang tiga di Indonesia yang tergabung IHGMA, mengalami penurunan hingga 100 persen dari bisnis mereka," ujarnya. Pernyataan ini merujuk pada hasil survei terhadap 312 hotel anggota asosiasi tersebut, yang mengaku terkena dampak langsung dari kebijakan efisiensi belanja negara.
Untuk hotel bintang empat, tekanan yang dirasakan juga cukup berat, meskipun tidak separah hotel bintang tiga. Penurunan pendapatan mereka diperkirakan mencapai 45% hingga 60% per bulan. Faktor utama yang menyebabkan penurunan ini adalah hilangnya permintaan atas ruang pertemuan atau ruang rapat yang biasanya digunakan untuk pelatihan, rapat koordinasi, dan kegiatan kementerian atau lembaga negara lainnya.
“Dalam jangka menengah, hotel mungkin kesulitan mencapai tingkat hunian optimal. Akhirnya, terjadi penurunan pendapatan menyeluruh,” imbuhnya.
Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak hotel yang memang selama ini menargetkan pasar tamu bisnis atau korporat. Ketika segmen tersebut melemah, maka secara otomatis terjadi kekosongan permintaan yang belum sepenuhnya dapat diisi oleh pasar leisure atau wisatawan biasa.
Meski demikian, nada optimistis mulai terdengar dari pelaku industri. Ketua Umum asosiasi pelaku pariwisata nasional mengungkapkan bahwa pada paruh kedua tahun ini ada potensi pemulihan. "Kalau di hotel itu, perkiraan penurunan omzetnya antara 30-40 persen di semester satu," ungkapnya. Namun ia menambahkan, peluang pertumbuhan tetap terbuka di sisa tahun ini.
"Perkiraan kami, bila dibandingkan dengan semester satu ya, (bisnis hotel) mungkin akan tumbuh sekitar 20-an persen," lanjutnya dalam sebuah pertemuan tingkat nasional industri pariwisata.
Optimisme ini tentu tidak datang begitu saja. Menurutnya, pemulihan tersebut sangat bergantung pada berbagai faktor pendukung. Diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan bahwa industri perhotelan tidak terus berada di bawah tekanan. Ia menekankan bahwa dukungan regulasi, insentif kebijakan, serta partisipasi aktif masyarakat dan pelaku industri sangat diperlukan.
“Kalau cuma mengandalkan APBN, tidak cukup. Kita butuh kolaborasi, inovasi, dan tentu saja doa,” ujarnya.
Harapan terhadap pemulihan pada paruh kedua tahun ini juga tidak lepas dari momentum kegiatan sosial dan liburan yang biasanya meningkat pada periode Agustus hingga Desember. Potensi peningkatan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun internasional, diharapkan mampu mengisi kekosongan permintaan yang selama ini ditinggalkan oleh sektor pemerintahan.
Namun demikian, tetap ada tantangan yang harus dihadapi, mulai dari ketatnya persaingan antarhotel, kebutuhan inovasi layanan, hingga daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Oleh sebab itu, para pelaku usaha hotel mulai melakukan berbagai penyesuaian strategi, seperti menawarkan paket menginap terjangkau, program promosi dengan platform daring, serta berkolaborasi dengan event organizer dan pelaku perjalanan wisata.
Penting juga untuk dicermati bahwa pemulihan sektor hotel tidak akan terjadi secara merata. Hotel-hotel di kota-kota besar yang sangat bergantung pada kegiatan bisnis mungkin akan pulih lebih lambat dibanding hotel di destinasi wisata populer yang tetap mendapat aliran tamu dari sektor leisure.
Kondisi awal tahun yang berat menjadi pengingat bahwa ketergantungan terhadap satu segmen pasar saja dapat membuat bisnis menjadi rentan. Maka dari itu, banyak pengelola hotel kini mulai berpikir untuk mendiversifikasi basis tamu mereka, misalnya dengan menyasar komunitas, penyelenggara kegiatan keluarga, hingga pelaku ekonomi kreatif yang rutin menggelar aktivitas di hotel.
Paruh kedua 2025 menjadi ujian sekaligus harapan bagi sektor perhotelan nasional. Apakah mereka mampu bangkit dari keterpurukan awal tahun dan menutup 2025 dengan performa lebih baik? Waktu yang akan menjawab, namun dengan semangat optimisme dan langkah kolaboratif, peluang menuju pemulihan itu tampaknya masih sangat terbuka.