JAKARTA - Di tengah tekanan global untuk mempercepat transisi energi bersih, Indonesia menghadapi tantangan unik. Negara ini terus berusaha meningkatkan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energinya, meskipun saat ini masih bergantung besar pada batu bara sebagai sumber utama pembangkit listrik.
Pemerintah Indonesia menargetkan dominasi EBT sebesar 70% dalam sektor ketenagalistrikan pasca-2030. Hal ini merupakan bagian dari visi jangka panjang yang tercermin dalam peta jalan investasi energi nasional, seperti tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Minerba ESDM) Tri Winarno menyampaikan bahwa meski batu bara masih menguasai sekitar 40% dari bauran energi saat ini, langkah-langkah menuju energi yang lebih ramah lingkungan tetap menjadi prioritas.
“Dalam jangka panjang, kami berharap konsumsi energi kita semakin ramah lingkungan. Namun, mengingat kondisi kita saat ini, sekitar 40% bauran energi kita masih bergantung pada batu bara, yang akan terus kita manfaatkan dengan teknologi rendah karbon seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS),” ujar Tri dalam acara Energi Mineral Festival 2025 di Hutan Kota by Plataran, Jakarta.
Kondisi tersebut mencerminkan realitas yang dihadapi Indonesia: antara tuntutan untuk mempercepat dekarbonisasi dan kenyataan bahwa sumber daya batu bara tetap menjadi yang paling melimpah dan hemat biaya.
Hingga saat ini, penyebaran energi terbarukan di Indonesia masih belum sesuai dengan target yang ditetapkan. Pada tahun 2020, kontribusi energi bersih hanya mencapai 11–12% dari bauran energi nasional, dan diperkirakan meningkat menjadi sekitar 14% pada 2025. Angka ini masih jauh dari target pemerintah yang menargetkan 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
Untuk mempercepat pencapaian tersebut, RUPTL 2025–2034 telah menetapkan strategi penambahan kapasitas EBT sebesar 42,6 gigawatt (GW). Rinciannya mencakup 17,1 GW dari tenaga surya, 11,7 GW tenaga air, 7,2 GW tenaga angin, 5,2 GW panas bumi, dan 0,9 GW dari bioenergi. Bila realisasi ini tercapai, maka sekitar 76% dari penambahan kapasitas listrik baru akan berasal dari sumber energi terbarukan, yang ditargetkan mendorong pangsa EBT menjadi 35% pada 2034.
Namun, upaya memperluas EBT tidak dapat dilepaskan dari isu pemerataan akses energi. Tri Winarno menekankan bahwa pembangunan energi juga harus menyentuh seluruh pelosok negeri. Hingga 2025, diperkirakan masih terdapat sekitar 5.400 desa yang belum sepenuhnya terlayani jaringan listrik nasional, bahkan beberapa wilayah terpencil masih kesulitan memperoleh pasokan bahan bakar.
“Ini merupakan tantangan besar dalam mencapai pemerataan energi nasional. Seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan akses energi yang terjangkau dan andal,” ujar Tri.
Pendekatan dua jalur ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menyeimbangkan antara tujuan pembangunan dan komitmen iklim. Di satu sisi, pemerintah telah menyatakan ambisi untuk mencapai netralitas karbon pada 2060. Namun di sisi lain, langkah-langkah jangka pendek masih mengandalkan batu bara demi menjamin stabilitas pasokan dan biaya.
Masalah pendanaan juga menjadi sorotan penting. Laporan terbaru dari konsultan global Kearney menyebut bahwa Indonesia memerlukan investasi sebesar US$ 2,4 triliun selama periode 2022 hingga 2060 untuk mencapai target nol emisi karbon. Namun, gap antara kebutuhan dan realisasi pendanaan masih cukup besar.
Pada 2024, investasi di subsektor energi terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) tercatat sebesar US$ 1,77 miliar, melebihi target pemerintah sebesar US$ 1,23 miliar atau mencapai 143,4%. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan dengan 2023, saat investasi hanya mencapai US$ 1,48 miliar atau 33,6% dari target US$ 4,39 miliar. Meski demikian, angka tersebut tetap belum mencerminkan kebutuhan investasi jangka panjang yang sangat besar.
Di tengah berbagai upaya tersebut, beban fiskal negara juga menjadi perhatian. Tri mengungkapkan bahwa subsidi energi yang diperkirakan membengkak hingga Rp 400 triliun pada 2025 bisa menghambat alokasi anggaran untuk sektor-sektor strategis lainnya.
“Kita menghadapi lanskap ekonomi makro yang menantang, dengan subsidi energi yang tinggi, ketidakpastian global, dan ketegangan geopolitik. Dalam konteks ini, negara-negara memprioritaskan kepentingan domestik, dan kita harus melakukan hal yang sama,” tegasnya.
Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, pemerintah tetap memegang komitmen terhadap keberlanjutan dan kemandirian energi. Dengan kombinasi pendekatan realistis dan dorongan untuk transformasi hijau, Indonesia mencoba menapaki jalur menuju masa depan energi yang lebih bersih dan merata.
“Kami berharap dapat mewujudkan kemandirian energi sejati yang menjamin masa depan Indonesia yang lebih baik dan berkelanjutan,” tutup Tri.