BBM

Krisis BBM Jember Lumpuhkan UMKM

Krisis BBM Jember Lumpuhkan UMKM
Krisis BBM Jember Lumpuhkan UMKM

JAKARTA - Bukan hanya antrean panjang di SPBU yang mewarnai hari-hari warga Jember, tetapi juga gangguan serius terhadap roda perekonomian yang menggantungkan hidup dari bahan bakar. Krisis BBM yang sempat melanda wilayah ini menimbulkan dampak berlapis—mulai dari UMKM yang berhenti produksi hingga sektor konstruksi yang kehilangan hampir separuh tenaga kerja harian.

Fenomena langkanya bahan bakar ini telah menjadi cermin rapuhnya ketahanan distribusi energi daerah, terutama dalam konteks kabupaten yang sangat bergantung pada kendaraan bermotor untuk aktivitas sehari-hari, seperti Jember. Dampaknya bahkan langsung terasa pada lini ekonomi terbawah, yaitu para pelaku usaha kecil dan informal.

Ketika distribusi BBM terganggu selama sekitar lima hari, banyak pelaku usaha kecil yang mendadak harus menutup usaha mereka lebih cepat, membatasi aktivitas, bahkan menghentikan pengantaran pesanan. Salah satunya dirasakan oleh Putri, pelaku UMKM kuliner di Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates.

“Biasanya buka dari pagi sampai tengah malam. Tapi selama BBM langka kemarin, tutupnya lebih awal,” ujarnya. Ia bahkan harus menolak permintaan delivery order dari pelanggan karena tidak memiliki cukup bahan bakar untuk pengantaran. Akibatnya, sebagian konsumen terpaksa mengambil sendiri pesanannya, dan tak sedikit yang akhirnya mengurungkan niat.

Kondisi serupa juga dialami oleh suaminya, yang harus berkeliling mencari SPBU yang tidak terlalu padat, hanya demi bisa mengisi BBM untuk keperluan usaha mereka. Namun, di lapangan, antrean tetap mengular.

“Mau bagaimana lagi, ya harus antre agar bisa tetap berjualan,” ujar Putri.

Bukan hanya pelaku usaha rumah tangga, para pedagang keliling seperti Midi di Sumbersari pun ikut merasakan beban. Krisis ini membuat sejumlah komoditas seperti bumbu dapur mengalami kenaikan harga. Midi, yang sehari-hari berjualan sayuran dan kebutuhan pokok, bahkan harus mengurangi stok jualannya karena khawatir akan kerugian.

“Sudah capai cari BBM, ikut mengantre, tapi saat keliling berjualan, untungnya dikit,” keluhnya. Ia pun terpaksa membeli pertalite eceran dengan harga tinggi, yakni Rp 13 ribu per liter.

Di tengah situasi ini, tekanan yang dialami pelaku UMKM pun turut menjadi perhatian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jember. Wakil Ketua Bidang UMKM, Koperasi, dan Ekonomi Kreatif Kadin Jember, Rendra Wirawan, menyebut UMKM sebagai kelompok yang paling terdampak dalam krisis ini, khususnya pelaku usaha kuliner.

“Mereka ini dilema. Belanja atau produksi barang hari ini, ya, harus dijual hari ini juga. Karena itu barang yang cepat basi. Tentu mereka tidak menginginkan itu. Sehingga memilih tidak berproduksi atau berjualan,” jelasnya.

Jember sendiri dikenal sebagai daerah dengan jumlah UMKM terbanyak di Jawa Timur, mencapai 642 ribu pelaku usaha, yang sebagian besar berada di sektor informal dan sangat bergantung pada motor atau kendaraan untuk kegiatan produksi dan distribusi barang.

Ketika distribusi BBM terhambat, otomatis aliran distribusi bahan baku dan barang jadi pun ikut terganggu. Dalam kondisi normal, para pelaku usaha inilah yang menjadi penggerak utama pasar-pasar tradisional dan perekonomian desa.

Menurut perhitungan Kadin, kerugian ekonomi akibat krisis BBM ini mencapai sekitar Rp 7 miliar per hari. Kerugian tersebut tidak hanya berasal dari omzet yang menurun, tetapi juga dari efek domino lainnya seperti terhentinya produksi, berkurangnya jam kerja tenaga kerja, dan meningkatnya biaya logistik.

Tidak hanya sektor perdagangan, sektor konstruksi pun ikut terdampak cukup besar. Kelangkaan BBM membuat banyak pekerja harian kesulitan mencapai lokasi proyek, sehingga menyebabkan jumlah tenaga kerja di lapangan menyusut drastis.

“Jumlah tenaga kerja di sektor infrastruktur berkurang hampir 50 persen. Pekerjaan dan distribusi juga ikut tersendat,” ujar Mohamad Budi Hartono, Kabid SDM Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin Jember. Ia menambahkan bahwa kondisi tersebut menambah beban biaya proyek serta meningkatkan risiko keterlambatan pengerjaan.

Meski demikian, situasi itu tidak berlangsung lama. Upaya cepat dari pemerintah daerah, pemerintah provinsi, serta Pertamina berhasil meredam krisis. Krisis BBM yang dimulai sekitar hari Sabtu mulai mereda pada Kamis, seiring dengan normalnya pasokan ke SPBU.

“Kami mengapresiasi bupati, gubernur, Pertamina, dan semua yang terlibat untuk mengatasi dan mengakhiri krisis BBM di Jember,” kata Rendra.

Ia berharap, koordinasi lintas sektor dapat terus diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang, terutama dalam periode penutupan jalur vital seperti Gumitir. Gangguan semacam ini, jika tidak segera ditangani, berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan menghambat iklim investasi daerah.

“Ini jadi pelajaran pentingnya komunikasi, koordinasi, dan sinergi lintas sektor. Mitigasi dan persiapan menjadi hal penting untuk dibahas bersama semua pihak. Mudah-mudahan ke depan, perekonomian kembali bangkit dan investasi di Jember terus melaju,” pungkas Rendra.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index