JAKARTA - Penurunan aktivitas angkutan barang di berbagai moda transportasi bukan sekadar angka statistik, tetapi menjadi cerminan kekhawatiran pelaku industri logistik nasional akan kondisi ekonomi yang tengah berjalan lesu. Fakta ini mencuat seiring data terbaru menunjukkan bahwa distribusi barang mengalami kontraksi cukup signifikan, yang dapat berdampak terhadap kelangsungan operasional dan kepercayaan pelaku usaha.
Indikasi pelemahan sektor logistik tercermin dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan adanya penurunan jumlah pengangkutan barang baik melalui udara, laut, maupun darat. Kondisi ini memunculkan reaksi dari kalangan industri, termasuk Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), yang menilai bahwa tantangan tidak hanya datang dari faktor domestik, tetapi juga dari situasi global yang belum stabil.
Sekretaris Jenderal ALFI, Trismawan Sanjaya, memaparkan bahwa kinerja angkutan barang yang lebih rendah di bulan Juni dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor. Mulai dari banyaknya hari libur nasional hingga konflik geopolitik yang menambah ketidakpastian pasar logistik secara keseluruhan.
“Ada Hari Kesaktian Pancasila, libur Hari Raya Iduladha, dan libur Tahun Baru Hijriah. Juga dipengaruhi geopolitik global dengan pecah perang Iran-Israel,” ujar Trismawan dalam pernyataannya.
Kombinasi Tekanan Global dan Domestik
Konflik berskala internasional seperti perang Israel-Iran serta ketidakpastian kebijakan tarif dari Amerika Serikat di bawah Trump menjadi dua di antara banyak tekanan eksternal yang menekan arus logistik. Namun bukan itu saja, Trismawan juga menyoroti dampak signifikan dari aksi-aksi penolakan terhadap kebijakan zero over dimension over load (ODOL) yang dilakukan oleh komunitas pengemudi di berbagai daerah.
Penolakan terhadap kebijakan ODOL ini turut mengganggu kelancaran distribusi barang, terutama di wilayah-wilayah yang bergantung pada angkutan darat sebagai tulang punggung distribusi logistik. Akibatnya, proses pengiriman barang menjadi tidak optimal, memperbesar risiko keterlambatan serta biaya tambahan operasional.
Penurunan Kompak di Semua Moda
Data BPS mencatat adanya penurunan kompak di seluruh moda angkutan barang domestik. Penurunan angkutan udara domestik tercatat sebesar 3,80 persen, angkutan laut menurun 4,82 persen, dan angkutan kereta mengalami kontraksi hingga 8,30 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Jika dilihat secara lebih rinci, Bandara Soekarno-Hatta, sebagai salah satu pusat distribusi udara nasional, mencatat penurunan signifikan dalam volume barang yang diangkut. Dari 19.900 ton menjadi hanya 18.400 ton , atau menurun 7,54 persen secara bulanan.
Hal serupa terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, pelabuhan utama Indonesia, yang mencatatkan penurunan angkutan barang laut dalam negeri sebesar 9,09 persen. Dari 1,45 juta ton pada Mei menjadi hanya 1,32 juta ton pada Juni. Penurunan ini juga tampak secara tahunan, meski tipis, yakni 0,15 persen.
Kekhawatiran Akan Dampak Jangka Panjang
Trismawan menyampaikan kekhawatirannya bahwa kondisi ini bukanlah penurunan musiman semata. Ia menyoroti tren penurunan daya beli masyarakat sebagai faktor fundamental yang harus diwaspadai oleh pelaku industri logistik.
Ia mengatakan bahwa tren konsumsi masyarakat kini lebih terfokus pada kebutuhan primer seperti makanan dan pakaian, sementara konsumsi produk manufaktur mengalami perlambatan. Hal ini sangat berkaitan dengan melemahnya industri manufaktur nasional, yang pada akhirnya berdampak pada permintaan jasa logistik.
“Fokus konsumsi masyarakat saat ini pada kebutuhan primer yaitu makanan dan pakaian,” ujarnya.
Lebih lanjut, Trismawan mengaitkan pelemahan aktivitas logistik dengan data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih berada di level kontraksi. PMI manufaktur tercatat sebesar 49,2, yang berarti industri manufaktur mengalami penurunan produksi. Kondisi ini bahkan telah berlangsung, Empat bulan berturut-turut industri berjalan dalam tekanan.
Masalah Struktural: Kesempatan Kerja Menurun
Tak hanya dari sisi konsumsi, Trismawan juga menyoroti persoalan ketenagakerjaan sebagai faktor yang turut memperburuk situasi. Penurunan kesempatan kerja bagi tenaga produktif dinilai menjadi penyebab utama melemahnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya mengurangi permintaan atas berbagai produk dan jasa, termasuk jasa logistik.
Kondisi tersebut menciptakan efek berantai yang merugikan, terutama bagi pelaku logistik yang bergantung pada arus barang sebagai penopang bisnis. Jika permintaan produk melemah, maka volume pengiriman pun menurun, dan pada akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan logistik.
Tantangan ke Depan: Adaptasi dan Efisiensi
Situasi ini menjadi refleksi penting bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor logistik untuk melakukan evaluasi terhadap ketahanan rantai pasok nasional. Tantangan ke depan bukan hanya terkait dengan fluktuasi jangka pendek, tetapi juga bagaimana sektor ini bisa beradaptasi dalam menghadapi kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Efisiensi biaya, digitalisasi proses distribusi, hingga kolaborasi lintas sektor menjadi hal-hal yang perlu dipercepat implementasinya agar sektor logistik tidak hanya bertahan, tetapi juga tetap tumbuh di tengah tantangan global dan domestik.
Dengan menurunnya volume angkutan barang di berbagai moda dan gejolak baik dari dalam maupun luar negeri, pelaku industri perlu bergerak cepat. Tidak hanya untuk menyelamatkan bisnisnya masing-masing, tetapi juga menjaga stabilitas distribusi logistik nasional yang menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi Indonesia.