Olahraga

Ketapel Jadi Olahraga Serius

Ketapel Jadi Olahraga Serius
Ketapel Jadi Olahraga Serius

JAKARTA - Di tengah pesatnya perkembangan olahraga modern, sebuah tradisi lama dari pelosok kampung Indonesia mulai menunjukkan tajinya. Ketapel—yang selama ini identik sebagai permainan anak kampung kini mulai naik kelas. Di Kalimantan Selatan, ketapel bukan lagi sekadar nostalgia masa kecil, tetapi berkembang menjadi sebuah cabang olahraga yang digarap serius oleh komunitas-komunitas lokal.

Transformasi ini bukan terjadi begitu saja. Ada upaya nyata dari para pegiat yang ingin mengangkat martabat permainan tradisional ini ke ranah yang lebih luas dan kompetitif. Salah satunya dilakukan oleh Forum Silaturahmi Pecinta Ketapel Indonesia (FORSPEK) Kalimantan Selatan. Mereka tak hanya menjaga eksistensi ketapel sebagai bagian dari budaya lokal, tetapi juga memolesnya menjadi olahraga keterampilan yang memiliki daya tarik tersendiri.

Ketua FORSPEK Kalsel, Pandu Setiawan, menggambarkan bagaimana ketapel telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Banua. Sejak dulu, ketapel sudah digunakan anak-anak di pedesaan untuk bermain, bahkan dipakai orang dewasa untuk berburu binatang kecil seperti burung dan tupai di kebun.

“Di kampung-kampung, ketapel itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Biasanya dibuat dari dahan pohon jambu atau waru, pakai karet ban dan potongan kulit sebagai pelontarnya,” ujar Pandu.

Ketapel di masa lalu memang sangat sederhana. Namun kini, perkembangan zaman membawa perubahan signifikan. Ketapel hadir dalam desain yang lebih presisi, ergonomis, dan estetis. Seiring dengan itu, komunitas-komunitas ketapel bermunculan dan menjadi wadah bagi pecinta permainan ini untuk saling berbagi, berlatih, hingga berlomba.

Geliat ketapel di Kalimantan Selatan mulai terasa sejak beberapa tahun terakhir. Kota-kota seperti Banjarmasin, Hulu Sungai, dan Banjarbaru menjadi basis pertumbuhan komunitas. Turnamen lokal pun mulai digelar secara rutin, dari tingkat komunitas hingga ke level yang lebih tinggi. Peserta dari berbagai usia—anak-anak hingga orang dewasa—ikut berpartisipasi.

Puncak dari perkembangan ini terlihat dalam ajang Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) VIII di NTB. Kalsel turut mengirimkan atlet-atlet ketapel andalannya. Salah satu yang menarik perhatian adalah Athaya Safa Alfaeyza, pegiat termuda yang baru berusia 11 tahun. Partisipasi mereka menjadi penanda bahwa olahraga ini tidak hanya hidup, tetapi juga punya masa depan cerah di kalangan generasi muda.

“Kami di FORSPEK mencoba membawa ketapel ke arah yang lebih positif dan kompetitif. Selain menjaga tradisi, tujuannya juga mengenalkan ketapel sebagai olahraga keterampilan dan konsentrasi,” jelas Pandu.

Keunikan dari olahraga ini terletak pada kesederhanaan alat dan tantangan yang ditawarkan. Tidak membutuhkan fasilitas mahal atau peralatan canggih, namun menuntut akurasi, fokus, serta teknik yang baik. Inilah yang membuat ketapel semakin diminati sebagai olahraga alternatif, terutama di daerah-daerah yang ingin tetap mengangkat nilai-nilai lokal namun tetap bisa bersaing di level nasional.

Lebih dari sekadar olahraga, ketapel juga menjadi medium pendidikan karakter. Anak-anak yang mengikuti latihan dan kompetisi ketapel diajarkan kedisiplinan, konsentrasi, dan semangat sportivitas. Hal ini sejalan dengan upaya FORSPEK untuk menjadikan olahraga ini sebagai sarana pembinaan, bukan sekadar adu ketangkasan.

“Anak-anak muda sekarang mulai tertarik, apalagi dengan adanya kelas kompetisi. Ini jadi cara bagus menjaga tradisi lokal agar tidak punah, sekaligus menjadi ajang melatih fokus dan disiplin,” ucap Pandu.

Bukan hanya untuk anak-anak, komunitas ini juga terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar atau sekadar bernostalgia. Menurut Pandu, FORSPEK Kalsel terus mengembangkan ruang-ruang latihan dan membuka pelatihan di berbagai wilayah. Mereka juga menjalin komunikasi dengan komunitas ketapel dari provinsi lain untuk memperluas jaringan dan memperkuat eksistensi olahraga ini secara nasional.

Bukti keseriusan ini juga terlihat dari keberhasilan tim-tim dari Kalimantan Selatan yang berhasil meraih medali emas dan tiket FORNAS. Prestasi tersebut menambah semangat bagi para pegiat untuk terus memperjuangkan agar ketapel mendapat pengakuan yang lebih luas sebagai olahraga resmi.

Lebih jauh, ketapel dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi olahraga modern yang mahal dan berorientasi urban. Ia menawarkan alternatif yang inklusif, murah, dan tetap menantang. Dengan pengemasan yang tepat, bukan tidak mungkin ketapel suatu saat akan menjadi cabang olahraga yang populer, bahkan di luar negeri.

Pada akhirnya, kebangkitan ketapel bukan hanya bicara soal olahraga, tetapi juga tentang pelestarian budaya, pengembangan komunitas, dan penanaman nilai-nilai positif di tengah masyarakat. Ketapel bukan lagi sekadar mainan kampung. Ia telah naik kelas menjadi simbol warisan lokal yang membanggakan dan siap bersaing di level nasional.

FORSPEK Kalimantan Selatan menegaskan bahwa perjuangan ini masih panjang. Namun dengan semangat komunitas dan dukungan masyarakat, ketapel memiliki potensi untuk terus tumbuh. Seiring waktu, bukan tak mungkin alat sederhana yang dulu hanya untuk bermain, akan membawa harum nama daerah di pentas nasional maupun internasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index