JAKARTA - Tren kendaraan listrik murah kian menggema di berbagai penjuru dunia, dan BYD Seagull menjadi salah satu model yang mencuri perhatian. Dikenal dengan nama berbeda di sejumlah negara, BYD Seagull yang juga disebut Atto 1 di Indonesia menunjukkan bahwa strategi penentuan harga kendaraan listrik bisa sangat fleksibel, tergantung pada pasar yang dituju.
Kehadiran Atto 1 di Indonesia sukses menarik perhatian publik karena dinilai menghadirkan mobil listrik dengan harga terjangkau. Namun, harga tersebut sejatinya belum tentu yang paling murah secara global. Tiap negara memiliki pendekatan harga sendiri, yang disesuaikan dengan regulasi lokal, pajak, insentif, hingga daya beli konsumen.
Di negara asalnya, Tiongkok, BYD Seagull hadir dengan penawaran yang sangat kompetitif. Harga varian termurahnya bahkan hanya sekitar Rp 130 jutaan, setelah mengalami penurunan dari harga semula yang menyentuh Rp 158,5 juta. Model lain dari Seagull juga tetap berada di bawah Rp 200 jutaan, dengan masing-masing varian dihargai sekitar Rp 172,1 juta dan Rp 194,8 juta. Kisaran harga ini sangat ramah bagi konsumen domestik, apalagi mobil ini memang diposisikan sebagai kendaraan listrik murah bagi pasar dalam negeri.
Yang menarik, BYD Seagull dipasarkan dengan nama yang berbeda di luar Tiongkok. Di Indonesia, mobil ini dikenal sebagai Atto 1, sementara di Filipina masih menggunakan nama Seagull. Di Eropa, model yang sama dipasarkan dengan nama Dolphin Surf, dan di Amerika Selatan khususnya Brasil model tersebut disebut sebagai Dolphin Mini.
Perbedaan nama ini bukan hanya sekadar strategi branding, tapi juga bagian dari upaya untuk menyesuaikan citra dan daya tarik produk dengan karakter pasar masing-masing. Hal yang sama juga berlaku untuk struktur harga.
Di pasar Eropa, Dolphin Surf dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan versi Tiongkok, yaitu mulai dari Rp 424,7 juta hingga Rp 530 jutaan. Harga ini jelas mencerminkan biaya-biaya tambahan seperti pajak, regulasi emisi, biaya distribusi, serta tingginya biaya hidup di kawasan tersebut.
Sementara itu di Brasil, Dolphin Mini dipatok dengan harga sekitar Rp 336 jutaan, meskipun mobil tersebut sudah dirakit secara lokal di negara itu. Fakta ini menunjukkan bahwa harga jual kendaraan listrik di pasar internasional bukan hanya bergantung pada lokasi perakitan, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor ekonomi dan kebijakan lokal.
Kembali ke Indonesia, Atto 1 hadir dengan harga di kisaran Rp 195 juta hingga Rp 235 juta, menjadikannya salah satu mobil listrik paling terjangkau di tanah air. Dengan spesifikasi dan bentuk kompak yang sesuai untuk kebutuhan mobilitas perkotaan, Atto 1 dianggap sebagai alternatif baru bagi masyarakat yang ingin beralih ke kendaraan ramah lingkungan tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
Meski demikian, harga Atto 1 di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan varian paling murah yang dijual di Tiongkok. Hal ini bisa dimaklumi mengingat belum adanya skema insentif atau subsidi khusus untuk kendaraan listrik kompak seperti yang diterapkan di negara asalnya. Pemerintah Tiongkok selama ini memang dikenal sangat agresif dalam mendorong adopsi kendaraan listrik melalui berbagai bentuk insentif yang efektif menekan harga jual mobil.
Di sisi lain, meskipun Atto 1 bukan varian termurah secara global, harga jualnya tetap tergolong kompetitif jika dibandingkan dengan model serupa dari merek lain di segmen yang sama. Daya tarik utamanya terletak pada kombinasi antara fitur, efisiensi, dan desain modern yang ditawarkan dengan harga yang masuk akal.
BYD sendiri tampaknya sangat memahami bahwa pasar mobil listrik tidak bisa diseragamkan. Setiap wilayah memiliki tantangan dan peluangnya masing-masing. Oleh karena itu, mereka memilih pendekatan multi-strategi — mulai dari penyesuaian harga, branding lokal, hingga menggandeng mitra distribusi yang relevan — untuk memaksimalkan penetrasi pasar.
Keberagaman harga BYD Seagull di berbagai negara juga mencerminkan dinamika industri otomotif global yang tengah bertransisi ke arah elektrifikasi. Produsen kendaraan kini tidak hanya dituntut untuk menghadirkan teknologi canggih dan ramah lingkungan, tetapi juga ditantang untuk menyusun struktur harga yang kompetitif dan sesuai dengan ekspektasi pasar lokal.
Kehadiran Seagull atau Atto 1 di Indonesia bisa menjadi awal dari pertumbuhan pasar kendaraan listrik kompak. Apalagi, segmen city car listrik saat ini belum banyak dihuni oleh pemain besar, sehingga membuka peluang yang cukup lebar bagi BYD untuk memperkuat posisinya di tengah masyarakat urban yang mendambakan kendaraan efisien, praktis, dan ramah lingkungan.
Bagi konsumen yang mempertimbangkan untuk beralih ke kendaraan listrik, memahami konteks global seperti ini bisa memberikan perspektif yang lebih luas. Bahwa harga sebuah mobil listrik tidak hanya ditentukan oleh merek atau fitur, tetapi juga oleh bagaimana strategi bisnis diterapkan di masing-masing negara.
Sebagai konsumen, kita bisa berharap bahwa dalam beberapa waktu ke depan, dukungan regulasi dan skema insentif di Indonesia akan terus berkembang. Dengan begitu, bukan tidak mungkin kita akan melihat lebih banyak mobil listrik dengan harga semakin terjangkau, termasuk varian seperti BYD Seagull yang kini mulai unjuk gigi sebagai pelopor mobil listrik murah di kawasan Asia Tenggara.