Energi

PLN Nusantara Power Genjot Energi lewat Co-Firing

PLN Nusantara Power Genjot Energi lewat Co-Firing
PLN Nusantara Power Genjot Energi lewat Co-Firing

JAKARTA - Upaya mengurangi emisi karbon kini tidak selalu identik dengan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan. Salah satu langkah nyata dalam mendorong penggunaan energi bersih dilakukan oleh PT PLN Nusantara Power, anak usaha PT PLN (Persero) yang fokus pada sektor pembangkit listrik. Lewat pendekatan inovatif berupa teknologi co-firing, perusahaan berhasil mengoptimalkan pembangkit eksisting berbahan bakar batu bara menjadi lebih ramah lingkungan.

Dalam enam bulan pertama tahun 2025, PLN Nusantara Power mencatat produksi energi bersih sebesar 472,2 gigawatt hours (GWh). Angka tersebut setara dengan pengurangan emisi karbon sekitar 525.000 ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen. Capaian ini diraih melalui penerapan co-firing di 25 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tersebar di wilayah Jawa maupun luar Jawa.

“Produksi itu sebagai hasil dari inovasi co-firing yang diterapkan pada 25 PLTU batu bara,” jelas Direktur Utama PLN Nusantara Power Ruly Firmansyah dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Antara.

Teknologi co-firing sendiri bukanlah solusi yang tiba-tiba diterapkan. Menurut Ruly, studi dan pengembangan terkait teknologi ini telah dilakukan sejak 2018. Setelah melalui berbagai uji coba dan evaluasi teknis, PLN Nusantara Power memutuskan untuk mengimplementasikan co-firing secara menyeluruh di jaringan PLTU miliknya, termasuk beberapa unit pembangkit di luar Jawa yang kini sudah mencapai tingkat co-firing hingga 100 persen.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari green booster yang menjadi inisiatif PLN dalam mempercepat transisi energi bersih. Tak hanya demi mengejar bauran energi baru terbarukan (EBT) secara nasional, namun juga sebagai komitmen kuat menuju target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

“Beberapa PLTU di luar Jawa bahkan telah mencapai tingkat co-firing hingga 100%,” ujar Ruly.

Ia juga menegaskan bahwa penurunan emisi karbon di sektor kelistrikan tidak hanya bergantung pada pembangunan pembangkit EBT baru, tetapi juga memerlukan strategi jangka pendek dan menengah, salah satunya dengan mengadaptasi PLTU eksisting. Co-firing dinilai sebagai solusi transisional yang cepat, efektif, dan relatif murah dalam mengurangi emisi karbon tanpa harus mengorbankan keandalan sistem kelistrikan nasional.

Lebih lanjut, co-firing merupakan teknik pembakaran campuran antara batu bara dan biomassa. Berbagai jenis biomassa digunakan dalam proses ini, termasuk pellet kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji (sawdust), dan bahkan sampah domestik yang telah diproses menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP). Dengan rasio campuran tertentu, pembakaran yang terjadi di PLTU dapat tetap menghasilkan energi listrik dengan efisiensi tinggi, sekaligus menurunkan intensitas karbon yang dihasilkan.

Selain berdampak positif terhadap lingkungan, co-firing juga mendatangkan potensi manfaat ekonomi lainnya. Salah satunya adalah mendukung ekonomi sirkular berbasis sampah. Dengan memanfaatkan limbah domestik dan industri sebagai sumber energi, co-firing turut mengatasi masalah pengelolaan sampah yang kian kompleks di perkotaan. Model ini juga membuka peluang ekonomi baru di sektor pengolahan limbah, produksi pellet biomassa, dan distribusi bahan bakar alternatif.

“Adopsi co-firing merupakan bagian dari program green booster PLN untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan nasional, serta perwujudan komitmen perusahaan untuk mendukung pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada 2060,” terang Ruly.

Dari sisi efisiensi, pendekatan ini dinilai lebih hemat dibandingkan membangun infrastruktur pembangkit baru yang memerlukan investasi besar dan waktu yang panjang. Apalagi, sebagian besar PLTU di Indonesia saat ini masih beroperasi aktif dan menyumbang kontribusi besar terhadap pasokan listrik nasional. Dengan demikian, adaptasi teknologi seperti co-firing menjadi solusi yang ideal dalam fase transisi menuju energi bersih.

Keberhasilan PLN Nusantara Power dalam menerapkan co-firing di 25 unit PLTU juga memberikan bukti bahwa transformasi sektor energi tidak harus menunggu pembangkit baru beroperasi. Dengan mengoptimalkan pembangkit yang ada, transformasi dapat dilakukan secara bertahap namun terukur, dengan dampak nyata bagi pengurangan emisi karbon nasional.

Sebagai tambahan, capaian ini menjadi satu dari sekian banyak langkah strategis PLN Group dalam mewujudkan sistem ketenagalistrikan berbasis rendah karbon. Langkah-langkah lainnya termasuk pengembangan pembangkit tenaga surya, panas bumi, serta proyek-proyek interkoneksi jaringan yang mendukung penetrasi energi terbarukan dari sumber-sumber yang tersebar.

Komitmen ini juga sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam meningkatkan porsi EBT di bauran energi nasional. Pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen pada 2025, yang kemudian meningkat secara bertahap hingga mencapai 31 persen pada 2050. Dalam konteks tersebut, program seperti co-firing menjadi bagian penting dari strategi kolaboratif antara pemerintah dan pelaku industri energi.

Dengan kinerja yang solid pada semester pertama 2025, PLN Nusantara Power memberikan contoh bagaimana teknologi dan inovasi bisa dijadikan senjata utama dalam mempercepat transisi energi. Produksi energi bersih 472,2 GWh dalam enam bulan pertama menjadi indikasi nyata bahwa PLTU pun bisa menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar masalah dalam isu perubahan iklim.

Melalui teknologi co-firing yang terus dikembangkan, PLN Nusantara Power menunjukkan bahwa solusi inovatif yang praktis dan efisien dapat mendukung transformasi energi nasional tanpa harus mengorbankan ketahanan pasokan listrik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index