PENDIDIKAN

Pendidikan Merdeka 80 Tahun

Pendidikan Merdeka 80 Tahun
Pendidikan Merdeka 80 Tahun

JAKARTA - Delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, pendidikan Indonesia telah menempuh perjalanan panjang. Dari ruang kelas sederhana pasca-kemerdekaan hingga era digitalisasi sekolah modern, terdapat kemajuan signifikan. Namun, di balik angka partisipasi yang mendekati sempurna, ketimpangan kualitas dan pemerataan pendidikan masih menjadi tantangan besar.

Sejarah Pendidikan: Dari Soekarno hingga Soeharto

Pada masa Soekarno, pendidikan dipandang sebagai “alat revolusi” untuk membangun semangat kebangsaan dan mengentaskan buta huruf. Saat itu, lebih dari separuh penduduk Indonesia belum melek huruf menurut data UNESCO.

Era Soeharto kemudian memperkenalkan strategi baru. Program SD Inpres (1973–1979) membangun 61 ribu sekolah dasar, menghapus iuran SD pada 1977, serta memberlakukan Wajib Belajar 6 Tahun yang meningkat menjadi 9 tahun. Hasilnya, partisipasi sekolah melonjak, terutama di pedesaan, membuka akses lebih luas bagi anak-anak di seluruh negeri.

Hak Konstitusional dan Tantangan Anggaran

Memasuki era Reformasi, fokus bergeser ke payung hukum dan pendanaan. UU Sisdiknas 2003 menetapkan alokasi minimal 20% APBN/APBD untuk pendidikan, baru terealisasi penuh pada APBN 2009 setelah desakan Mahkamah Konstitusi.

Saat ini, partisipasi SD mendekati 100%, namun kualitas belum sejalan. Skor PISA 2022 menempatkan Indonesia di papan bawah, bahkan menurun dibanding 2018. Wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) menghadapi tantangan serius terkait mutu guru, sarana, dan konektivitas.

Program dan Kebijakan Terkini

Era Jokowi memperkenalkan Asesmen Nasional dan Rapor Pendidikan untuk memotret mutu sekolah, namun pemerataan kualitas masih sulit dicapai. Pemerintahan Prabowo menetapkan alokasi 22% APBN 2025 untuk pendidikan, sekaligus meluncurkan program makan siang gratis dan membuka Sekolah Rakyat sebagai prioritas.

Prof. Nunuk Suryani, Dirjen GTK dan Pendidikan Guru Kemendikdasmen, mengakui distribusi guru masih timpang. Berdasarkan data Dapodik 2021, kebutuhan guru ASN mencapai 2,26 juta, namun yang tersedia baru 1,32 juta. Kekurangan guru dipicu moratorium rekrutmen bertahun-tahun dan pensiunnya guru setiap tahun. Sejak 2021 hingga 2024, pemerintah meluluskan 911.161 formasi guru PPPK, meski rekrutmen masih bergantung anggaran daerah, bukan kebutuhan riil sekolah.

Program sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) menjadi ujung tombak peningkatan kualitas. Rata-rata kesesuaian lulusan PPG dengan profil guru profesional mencapai 93%. PPG model baru dirancang agar guru mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Kritik dan Peringatan dari Organisasi Pendidikan

Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti ketimpangan pendidikan yang masih tinggi. Sekitar 4 juta anak belum mengakses pendidikan dasar, sedangkan kualitas sekolah, guru, dan fasilitas di 3T jauh dari memadai. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka dinilai terlalu Jakarta-sentris, menambah beban guru dan kurang menguntungkan murid.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tren ketimpangan belum membaik. Skor PISA dan SPI menunjukkan kemampuan dasar siswa menurun. Banyak sekolah di 3T kekurangan guru, bahkan menghadapi konflik lahan yang mengganggu operasional. Tata kelola guru yang kompleks (PNS, PPPK, honorer, kontrak) menciptakan diskriminasi.

Anggaran pendidikan pun dianggap masih kurang tepat sasaran. Dari Rp724 triliun APBN 2025, Kemendikdasmen hanya menerima sekitar 3%. JPPI menegaskan pendidikan harus menjadi hak anak, bukan komoditas. Pungutan tinggi di sekolah dianggap pelanggaran hak, sementara komitmen minimal 20% APBN/APBD wajib ditegakkan.

Menuju Pendidikan Berkualitas dan Merata

Pendidikan Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah besar: distribusi guru yang merata, kualitas sekolah, fasilitas memadai, dan kebijakan yang tepat sasaran. Transformasi digital, green economy, dan Society 5.0 seharusnya diwujudkan melalui sistem pendidikan yang visioner, adil, dan relevan dengan tantangan masa depan.

Tanpa fondasi yang kokoh, janji Merdeka Belajar dan pendidikan merata hanya akan menjadi retorika. Pemerintah dan lembaga terkait harus menempatkan kualitas dan pemerataan sebagai prioritas utama, sehingga pendidikan benar-benar menjadi instrumen keadilan sosial dan pembangunan manusia Indonesia yang sejati.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index