JAKARTA - Industri asuransi kesehatan di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang kompleks. Meski memiliki potensi pasar besar, banyak perusahaan asuransi kesehatan mengalami kesulitan finansial akibat berbagai masalah yang saling terkait, mulai dari persaingan tidak sehat hingga inflasi biaya medis yang tinggi.
Dalam rapat kerja dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi XI DPR RI meminta penundaan pelaksanaan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan, yang awalnya dijadwalkan berlaku mulai Januari 2026. Keputusan ini muncul sebagai respons atas sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku industri, yang selama ini berjuang mempertahankan bisnis asuransi kesehatan di tengah tekanan finansial.
SEOJK No. 7/2025 hadir untuk memperbaiki kondisi bisnis asuransi kesehatan yang dianggap tidak menguntungkan. Beberapa perusahaan bahkan menghentikan penjualan produk kesehatan karena sudah tidak mampu menanggung kerugian atau “bleeding”. Kepala industri menyoroti penyebab utama masalah ini: persaingan tidak sehat, biaya akuisisi tinggi, praktik fraud, serta penggunaan layanan rumah sakit yang berlebihan (overuse dan overutility). Dampak dari semua faktor ini adalah rasio klaim yang melambung hingga menembus 100 persen, menandakan bisnis asuransi kesehatan yang tidak lagi sehat secara finansial.
- Baca Juga Belanja Online Paruh 2025
OJK pun merespons dengan menerbitkan SEOJK No. 7/2025, yang berisi aturan baru agar bisnis asuransi kesehatan dapat kembali berkelanjutan. Namun, sebelum regulasi ini berlaku, DPR meminta perbaikan dan mendorong OJK menyusun Peraturan OJK (POJK) yang lebih komprehensif. Salah satu isu yang menjadi perhatian utama adalah skema co-payment, yang dianggap menambah beban masyarakat dan menimbulkan sentimen penolakan di publik.
Meski demikian, data menunjukkan fakta yang berbeda dari persepsi publik. Berdasarkan survei Lembaga Riset Media Asuransi (LMRA) bersama Pinnacle Analytics Indonesia, 77,4 persen responden menerima penerapan skema co-payment. Mayoritas responden juga menyatakan masih berminat membeli asuransi kesehatan swasta meski co-payment diterapkan. Temuan ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya mekanisme berbagi biaya dalam menjaga keberlanjutan asuransi kesehatan.
Dalam laporan Cover Story Media Asuransi, edisi Agustus, isu regulasi asuransi kesehatan diangkat dalam empat tulisan utama yang saling terkait. Pertama, membahas dynamika pembuatan regulasi asuransi kesehatan dan interaksi antara OJK serta DPR. Kedua, membedah isi SEOJK Asuransi Kesehatan sekaligus rencana penerbitan POJK untuk memberikan kepastian hukum dan finansial bagi industri. Ketiga, menyoroti harapan pelaku industri terhadap kepastian regulasi yang dapat menjaga kelangsungan bisnis dan menurunkan risiko kerugian. Keempat, menampilkan hasil survei LMRA-Pinnacle Analytics terkait respons masyarakat terhadap skema co-payment, memberikan perspektif konsumen dalam kerangka regulasi baru.
Cover Story ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif kepada seluruh stakeholder asuransi kesehatan, termasuk perusahaan asuransi, regulator, dan masyarakat luas. Dengan pemahaman yang sama, diharapkan tercipta mufakat dalam proses pembuatan aturan, sehingga kebijakan dapat mendukung keberlanjutan industri sekaligus memberikan perlindungan optimal bagi konsumen.
Situasi ini mencerminkan dilema yang dihadapi industri asuransi kesehatan: di satu sisi, perusahaan harus mengelola risiko klaim yang tinggi dan biaya operasional yang meningkat. Di sisi lain, masyarakat menginginkan premi yang terjangkau dan layanan kesehatan yang mudah diakses. Regulasi yang tepat diharapkan dapat menjadi jembatan antara kebutuhan industri dan ekspektasi konsumen.
Aska Primardi, Head of Research Jakpat, menambahkan, “Situasi ini menuntut kolaborasi antara regulator, industri, dan masyarakat agar tercipta ekosistem asuransi kesehatan yang sehat dan berkelanjutan.” Hal ini menegaskan pentingnya komunikasi terbuka dan transparansi dalam merancang kebijakan yang berdampak luas.
Ke depan, penerapan POJK diharapkan mampu memperbaiki praktik bisnis asuransi kesehatan, menurunkan rasio klaim yang tinggi, dan mendorong inovasi produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perusahaan asuransi juga diharapkan dapat menyesuaikan strategi bisnisnya dengan regulasi baru, termasuk skema co-payment, sehingga operasional tetap efisien tanpa mengorbankan kepentingan konsumen.
Dengan perkembangan ini, industri asuransi kesehatan di Indonesia berada pada titik kritis. Regulasi yang matang dan penerimaan masyarakat terhadap mekanisme baru menjadi kunci agar bisnis asuransi kesehatan dapat kembali sehat, sekaligus menjaga akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.