JAKARTA - Upaya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam menerapkan sistem pemilihan "satu anggota satu suara" untuk menentukan kepemimpinan nasional menuai sorotan positif dari kalangan akademisi. Inisiatif ini dianggap sebagai langkah maju dalam reformasi demokrasi internal partai di Tanah Air yang selama ini dinilai masih elitis dan tertutup.
Suwardi, seorang pengamat politik dari Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, menyampaikan pandangannya mengenai sistem pemilihan yang akan digunakan dalam Pemilihan Raya PSI. Menurutnya, cara ini merupakan sebuah gebrakan yang belum pernah dilakukan oleh partai politik lain di Indonesia.
“Ini terobosan luar biasa kalau menurut saya. Partai yang lain kan belum pernah ada,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa kebanyakan partai politik masih bergantung pada mekanisme pemilihan ketua umum yang dikuasai oleh elite partai, seperti DPD kabupaten/kota, DPD provinsi, atau DPW provinsi, dan DPP. Sistem tersebut cenderung hanya memberi hak suara kepada kelompok terbatas dalam struktur partai.
Namun, PSI memilih pendekatan berbeda. Dengan membuka hak suara kepada seluruh anggota partai melalui prinsip “one man one vote”, PSI dianggap menciptakan demokrasi yang lebih inklusif. Suwardi menggarisbawahi bahwa kebijakan ini secara fundamental memberi dampak pada rasa memiliki dan partisipasi politik di dalam tubuh partai.
“Dengan sistem one man one vote maka seluruh anggota partai memiliki hak suara. Dengan demikian, seluruh anggota merasa ikut dilibatkan di dalam partai,” tuturnya.
Pentingnya keterlibatan anggota partai dalam proses pengambilan keputusan turut diperkuat oleh pandangan Suwardi mengenai efek jangka panjang dari sistem ini. Ia mengatakan bahwa rasa memiliki atau sense of belonging yang dibangun lewat keterlibatan langsung akan menciptakan kader-kader yang lebih loyal dan solid.
“Sense of belonging-nya juga ada. Maka ke depan diharapkan mereka menjadi kader yang solid,” imbuhnya.
Suwardi juga menyoroti praktik-praktik lama dalam sistem internal partai yang menurutnya kurang adil. Salah satunya adalah pembagian anggota menjadi dua kelompok: mereka yang memiliki hak suara dan mereka yang tidak. Pembagian ini, menurutnya, sering kali menciptakan jarak dan ketimpangan dalam dinamika partai.
Selain itu, ia juga mengkritisi praktik aklamasi yang kerap kali digunakan dalam pemilihan pemimpin partai. Menurutnya, aklamasi tidak jarang justru menutup ruang kontestasi dan bisa merugikan salah satu pihak.
“Konsep aklamasi juga tidak jarang merugikan salah satu pihak,” katanya tegas.
Dengan sistem baru yang diterapkan PSI, Suwardi yakin bahwa keinginan dan aspirasi seluruh anggota partai bisa lebih terwakili. Transparansi dan kesetaraan dalam proses pemilihan dinilainya dapat meningkatkan legitimasi kepemimpinan yang terpilih.
Langkah PSI ini juga dinilai layak menjadi contoh bagi partai-partai lain di Indonesia. Menurut Suwardi, praktik demokrasi internal yang diusung PSI bisa menjadi model yang mendorong pembaruan sistem kepartaian secara keseluruhan.
Ia menambahkan, sistem tersebut bukan hanya sekadar langkah teknis dalam menentukan pemimpin, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang untuk membentuk struktur organisasi yang lebih kuat dan solid. Dengan seluruh anggota dilibatkan sejak awal, maka hasil akhir akan mencerminkan kehendak kolektif, bukan keputusan segelintir elite.
Tak hanya sampai di situ, Suwardi juga melihat bahwa pendekatan ini berpotensi memperkuat elektabilitas PSI ke depannya. Ia menyatakan optimismenya bahwa partisipasi luas dalam kongres partai dapat berdampak pada peningkatan suara dalam pemilu.
“Saya kok merasa iya ya (optimistis perolehan suara lebih besar), karena soliditas dari seluruh anggota itu akan terbentuk sejak kongres ini,” ujarnya yakin.
Langkah PSI untuk membuka ruang partisipasi secara penuh kepada anggotanya melalui Pemilihan Raya bukan hanya strategi politik, melainkan juga pernyataan nilai. Di tengah dominasi sistem kepartaian yang selama ini dianggap eksklusif dan tertutup, PSI mengambil jalur berbeda yang menekankan pada keterbukaan, kesetaraan, dan kepercayaan terhadap basis anggotanya sendiri.
Penerapan sistem demokrasi internal ini juga menjadi refleksi bahwa transformasi politik tidak harus dimulai dari perubahan kebijakan negara, tetapi bisa dimulai dari dalam tubuh partai. Ketika partai memberi contoh dalam mengedepankan partisipasi anggota, maka harapan akan tumbuhnya budaya demokrasi yang lebih sehat di tingkat nasional menjadi semakin realistis.
Melalui gebrakan ini, PSI memperlihatkan bahwa keberanian untuk berbeda bukan sekadar jargon, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata. Dengan memberi suara kepada setiap anggota, partai ini menciptakan ruang politik yang lebih setara dan membangun fondasi kuat bagi masa depan organisasi.
Kini, tinggal bagaimana hasil dari Pemilihan Raya PSI ini akan membuktikan efektivitas sistem tersebut. Namun satu hal yang jelas, langkah ini telah mengundang perhatian dan bisa menjadi momentum penting dalam menata ulang wajah demokrasi internal partai politik di Indonesia.