JAKARTA - Arah kebijakan perpajakan terhadap aset kripto di Indonesia tengah mengalami transformasi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana menyesuaikan ketentuan perpajakan kripto untuk menjawab dinamika industri yang berkembang cepat. Jika sebelumnya kripto diperlakukan sebagai komoditas, kini pemerintah menyiapkan regulasi baru yang mengategorikannya sebagai instrumen keuangan.
Langkah ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam agenda peluncuran piagam wajib pajak yang digelar pada Selasa, 22 Juli 2025. Ia mengisyaratkan bahwa aturan yang berlaku saat ini sudah tidak lagi relevan seiring bergesernya posisi aset kripto dalam sistem keuangan.
"Selama ini, pajak kripto diatur hanya sebagai komoditas. Kemudian ketika dia beralih ke financial instrument, maka aturannya harus kita adjust," ujar Bimo.
- Baca Juga Emas UBS dan Galeri 24 Naik
Pernyataan ini menandai arah baru kebijakan fiskal dalam menghadapi pesatnya pertumbuhan transaksi kripto yang kini mulai menembus berbagai lapisan masyarakat. Pemerintah pun menyiapkan pendekatan yang lebih menyeluruh agar regulasi perpajakan kripto tetap adil dan mampu mendukung pertumbuhan industri.
Penyesuaian Pajak Ikuti Perkembangan Industri
Meski belum dijabarkan secara mendetail, Bimo menyebutkan bahwa regulasi baru tersebut akan mencakup pemungutan pajak untuk transaksi kripto dengan status sebagai instrumen keuangan. Rencana ini merupakan tindak lanjut dari upaya harmonisasi perpajakan, sejalan dengan tren internasional yang mulai mengatur kripto secara lebih sistematis.
Selama ini, transaksi aset digital tersebut sudah dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022. Di dalamnya, aset kripto masih dipandang sebagai komoditas dan dikenai pajak berdasarkan prinsip penyerahan barang.
Namun, dengan mulai berubahnya posisi kripto menjadi aset keuangan, pemungutan pajaknya pun memerlukan pembaruan. Penyesuaian tersebut tak terlepas dari diberlakukannya aturan PPN yang baru per 1 Januari 2025. Pemerintah telah menerbitkan dua regulasi penting, yaitu PMK No. 131 Tahun 2024 dan PMK No. 81 Tahun 2024, sebagai payung hukum perubahan tersebut.
Pelaku Industri Harap Regulasi Lebih Adaptif
Di tengah perubahan ini, pelaku industri kripto menyambut baik upaya pemerintah dalam menyesuaikan kebijakan. Namun, sebagian pihak menilai bahwa perlakuan pajak terhadap kripto seharusnya lebih mempertimbangkan karakteristiknya yang mirip dengan instrumen keuangan lain.
CEO Indodax Oscar Darmawan menjadi salah satu suara yang aktif mengkritisi penerapan PPN terhadap transaksi kripto. Dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu, 4 Januari 2025, Oscar menyatakan bahwa transaksi kripto seharusnya tidak dikenai PPN, karena fungsinya mendekati transaksi finansial biasa.
"Dengan dihapusnya PPN, justru berpotensi meningkatkan pendapatan negara dari pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi kripto," kata Oscar.
Ia menilai bahwa pendekatan seperti itu telah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan industri kripto nasional, sekaligus tetap menjamin kontribusi terhadap penerimaan negara.
Detail Pemungutan PPN Saat Ini
Sebagai informasi, saat ini pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dikenakan tarif PPN sebesar 0,12 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, biaya lainnya seperti deposit, penarikan rupiah, maupun aktivitas trading dikenakan PPN dengan tarif efektif sebesar 11 persen, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 PMK No. 131 Tahun 2024.
Kebijakan tersebut sempat menuai pro dan kontra, terutama dari pelaku usaha dan pengguna platform kripto. Mereka menilai bahwa beban pajak saat ini bisa menghambat perkembangan pasar dan menurunkan daya saing Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang lebih terbuka dalam kebijakan perpajakan kripto.
Persiapan Peralihan Pengawasan Kripto
Di tengah penyesuaian regulasi perpajakan ini, peralihan kewenangan pengawasan industri kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah berlangsung. Pemerintah masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai dasar hukum peralihan, sementara OJK sudah mulai mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung transisi tersebut.
Hal ini menjadi bagian dari upaya IndonesiaArah kebijakan perpajakan terhadap aset kripto di Indonesia tengah mengalami transformasi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana menyesuaikan ketentuan perpajakan kripto untuk menjawab dinamika industri yang berkembang cepat. Jika sebelumnya kripto diperlakukan sebagai komoditas, kini pemerintah menyiapkan regulasi baru yang mengategorikannya sebagai instrumen keuangan.
Langkah ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam agenda peluncuran piagam wajib pajak yang digelar pada Selasa, 22 Juli 2025. Ia mengisyaratkan bahwa aturan yang berlaku saat ini sudah tidak lagi relevan seiring bergesernya posisi aset kripto dalam sistem keuangan.
"Selama ini, pajak kripto diatur hanya sebagai komoditas. Kemudian ketika dia beralih ke financial instrument, maka aturannya harus kita adjust," ujar Bimo.
Pernyataan ini menandai arah baru kebijakan fiskal dalam menghadapi pesatnya pertumbuhan transaksi kripto yang kini mulai menembus berbagai lapisan masyarakat. Pemerintah pun menyiapkan pendekatan yang lebih menyeluruh agar regulasi perpajakan kripto tetap adil dan mampu mendukung pertumbuhan industri.
Penyesuaian Pajak Ikuti Perkembangan Industri
Meski belum dijabarkan secara mendetail, Bimo menyebutkan bahwa regulasi baru tersebut akan mencakup pemungutan pajak untuk transaksi kripto dengan status sebagai instrumen keuangan. Rencana ini merupakan tindak lanjut dari upaya harmonisasi perpajakan, sejalan dengan tren internasional yang mulai mengatur kripto secara lebih sistematis.
Selama ini, transaksi aset digital tersebut sudah dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022. Di dalamnya, aset kripto masih dipandang sebagai komoditas dan dikenai pajak berdasarkan prinsip penyerahan barang.
Namun, dengan mulai berubahnya posisi kripto menjadi aset keuangan, pemungutan pajaknya pun memerlukan pembaruan. Penyesuaian tersebut tak terlepas dari diberlakukannya aturan PPN yang baru per 1 Januari 2025. Pemerintah telah menerbitkan dua regulasi penting, yaitu PMK No. 131 Tahun 2024 dan PMK No. 81 Tahun 2024, sebagai payung hukum perubahan tersebut.
Pelaku Industri Harap Regulasi Lebih Adaptif
Di tengah perubahan ini, pelaku industri kripto menyambut baik upaya pemerintah dalam menyesuaikan kebijakan. Namun, sebagian pihak menilai bahwa perlakuan pajak terhadap kripto seharusnya lebih mempertimbangkan karakteristiknya yang mirip dengan instrumen keuangan lain.
CEO Indodax Oscar Darmawan menjadi salah satu suara yang aktif mengkritisi penerapan PPN terhadap transaksi kripto. Dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu, 4 Januari 2025, Oscar menyatakan bahwa transaksi kripto seharusnya tidak dikenai PPN, karena fungsinya mendekati transaksi finansial biasa.
"Dengan dihapusnya PPN, justru berpotensi meningkatkan pendapatan negara dari pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi kripto," kata Oscar.
Ia menilai bahwa pendekatan seperti itu telah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan industri kripto nasional, sekaligus tetap menjamin kontribusi terhadap penerimaan negara.
Detail Pemungutan PPN Saat Ini
Sebagai informasi, saat ini pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dikenakan tarif PPN sebesar 0,12 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, biaya lainnya seperti deposit, penarikan rupiah, maupun aktivitas trading dikenakan PPN dengan tarif efektif sebesar 11 persen, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 PMK No. 131 Tahun 2024.
Kebijakan tersebut sempat menuai pro dan kontra, terutama dari pelaku usaha dan pengguna platform kripto. Mereka menilai bahwa beban pajak saat ini bisa menghambat perkembangan pasar dan menurunkan daya saing Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang lebih terbuka dalam kebijakan perpajakan kripto.
Persiapan Peralihan Pengawasan Kripto
Di tengah penyesuaian regulasi perpajakan ini, peralihan kewenangan pengawasan industri kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah berlangsung. Pemerintah masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai dasar hukum peralihan, sementara OJK sudah mulai mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung transisi tersebut.
Hal ini menjadi bagian dari upaya Indonesia membangun ekosistem aset digital yang lebih aman dan terstruktur. Perubahan ini juga akan memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan pengawasan sektor keuangan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Arah Regulasi ke Depan
Dengan rencana penggolongan kripto sebagai instrumen keuangan, kemungkinan skema perpajakan pun akan lebih kompleks dan memerlukan pengawasan yang cermat. Pemerintah dituntut untuk mampu mengimbangi kecepatan inovasi teknologi dengan regulasi yang adaptif dan tetap menjamin kepastian hukum bagi pelaku industri.
Kendati belum ada kepastian kapan regulasi baru ini akan diterbitkan, sinyal dari Dirjen Pajak memperjelas bahwa pemerintah serius menyikapi dinamika perkembangan kripto, termasuk potensi penerimaan pajaknya bagi negara.
Perubahan kebijakan ini menjadi titik penting bagi masa depan ekosistem aset digital di Indonesia. Bagi pelaku industri, ini menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan baru. Sedangkan bagi otoritas fiskal, ini adalah tantangan untuk merancang regulasi yang progresif namun tetap berpihak pada stabilitas ekonomi nasional. membangun ekosistem aset digital yang lebih aman dan terstruktur. Perubahan ini juga akan memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan pengawasan sektor keuangan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Arah Regulasi ke Depan
Dengan rencana penggolongan kripto sebagai instrumen keuangan, kemungkinan skema perpajakan pun akan lebih kompleks dan memerlukan pengawasan yang cermat. Pemerintah dituntut untuk mampu mengimbangi kecepatan inovasi teknologi dengan regulasi yang adaptif dan tetap menjamin kepastian hukum bagi pelaku industri.
Kendati belum ada kepastian kapan regulasi baru ini akan diterbitkan, sinyal dari Dirjen Pajak memperjelas bahwa pemerintah serius menyikapi dinamika perkembangan kripto, termasuk potensi penerimaan pajaknya bagi negara.
Perubahan kebijakan ini menjadi titik penting bagi masa depan ekosistem aset digital di Indonesia. Bagi pelaku industri, ini menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan baru. Sedangkan bagi otoritas fiskal, ini adalah tantangan untuk merancang regulasi yang progresif namun tetap berpihak pada stabilitas ekonomi nasional.