JAKARTA - Dalam dinamika global menuju energi bersih, Indonesia menghadapi tantangan besar sekaligus peluang strategis untuk melakukan transformasi energi. Pilihan antara mempertahankan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang semakin tak kompetitif, atau mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT), menjadi titik krusial dalam arah kebijakan energi nasional ke depan.
PLTU yang selama ini menjadi andalan penyediaan listrik nasional kini mulai menunjukkan tanda-tanda ketertinggalan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan pergeseran preferensi global terhadap energi bersih, PLTU tak lagi menjadi pilihan yang ekonomis dan efisien. Di saat yang sama, energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga panas bumi (PLTP) terus berkembang, meskipun belum sepenuhnya bebas dari hambatan.
Sebuah laporan penting dari Carbon Tracker pada 2018 memperkuat pandangan ini. Menurut analisis tersebut, biaya operasional PLTU di Indonesia diprediksi akan menjadi semakin mahal. Dalam proyeksi tahun 2030, sebanyak 73% kapasitas PLTU yang ada di Indonesia akan memiliki biaya operasional lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembangunan pembangkit EBT baru. Bahkan sejak 2021, Indonesia telah memasuki titik balik penting, ketika pembangunan pembangkit EBT sudah lebih murah daripada membangun PLTU baru.
Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka keekonomian, EBT bukan lagi opsi alternatif, melainkan menjadi solusi utama yang lebih relevan untuk masa depan. Di tengah meningkatnya tekanan global terhadap emisi karbon, biaya operasional PLTU semakin tidak kompetitif, bahkan jika dibandingkan dengan teknologi EBT yang sebelumnya dianggap mahal dan belum matang secara teknis.
Untuk memperjelas kondisi PLTU saat ini, perlu dilihat dari sisi profitabilitas. Kapasitas keuntungan PLTU Indonesia yang berada pada kisaran USD 20/MWh masih tampak menguntungkan di permukaan. Namun angka ini sangat rentan terhadap dinamika global, khususnya jika diterapkan pajak karbon yang agresif dan harga batu bara yang terus berfluktuasi. Ketergantungan pada komoditas yang tidak stabil ini menjadi titik lemah yang bisa memicu kerugian signifikan di masa depan.
Hal ini bukanlah fenomena yang unik terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti Uni Eropa, Rusia, dan China juga telah mengalami kerugian akibat operasional PLTU mereka. Uni Eropa, misalnya, diproyeksikan menanggung kerugian hingga USD 32/MWh pada tahun 2030. Kerugian ini berasal dari tingginya biaya operasional dibandingkan dengan harga jual listrik, serta penerapan kebijakan lingkungan yang semakin ketat.
Carbon Tracker juga mencatat bahwa secara global, 96% PLTU diperkirakan akan kalah bersaing dengan pembangkit EBT baru pada 2030. Dampaknya sangat besar, yakni potensi kerugian berupa stranded asset sebesar USD 267 miliar. Bagi Indonesia sendiri, ancaman kehilangan nilai investasi PLTU bisa mencapai USD 35 miliar jika target pengendalian iklim maksimal 2°C benar-benar ditegakkan secara global.
Namun, meskipun EBT menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan dan ekonomis dalam jangka panjang, tantangan untuk mengembangkan sektor ini tetap signifikan. Satu tantangan utama adalah tingginya suku bunga global, yang menyebabkan kenaikan biaya investasi proyek energi terbarukan. Hal ini khususnya berdampak pada proyek skala besar seperti PLTP yang membutuhkan investasi besar pada tahap awal pembangunan.
Untuk mengatasi hambatan ini, dibutuhkan peran aktif dari pemerintah dalam merancang kebijakan yang mendukung investasi hijau. Insentif fiskal yang lebih menarik, dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan berkelanjutan, serta keterlibatan sektor swasta menjadi elemen kunci dalam menjaga keberlanjutan momentum transisi energi ini. Tanpa dukungan struktural yang kuat, transformasi energi bisa tersendat, meskipun potensi teknis dan ekonominya sangat menjanjikan.
Kendati berbagai tantangan itu nyata, arah perubahan sudah mulai terlihat. Energi terbarukan tidak hanya menjadi kebutuhan untuk mengurangi emisi dan memerangi krisis iklim, tetapi juga sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif dan cenderung mahal, menjadi argumen kuat untuk mempercepat adopsi teknologi bersih.
Pemerintah Indonesia memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa transisi ini tidak hanya cepat, tetapi juga adil dan inklusif. Artinya, proses peralihan ke energi bersih perlu memperhatikan dampaknya terhadap tenaga kerja di sektor batu bara, masyarakat lokal di sekitar PLTU, serta pelaku industri kecil dan menengah yang mungkin terdampak.
Dengan arah kebijakan yang tepat, transformasi energi dapat menciptakan peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, membuka lapangan kerja hijau, serta memperkuat posisi Indonesia dalam peta energi global yang tengah berubah. Momentum ini tidak boleh dilewatkan, karena masa depan energi Indonesia sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil hari ini.