JAKARTA - Banyak pemain sepak bola bermimpi bisa bermain di Premier League, liga yang disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia. Namun, realitasnya tidak semua pemain mampu bersinar ketika benar-benar berada di panggung tersebut. Meskipun datang dengan label bintang dari liga top Eropa lainnya, tak sedikit yang justru kesulitan menyesuaikan diri di Inggris.
Hal ini tercermin dari bursa transfer musim panas 2025. Tercatat, sebanyak 12 pemain dengan nilai transfer lebih dari 35 juta euro (sekitar Rp660 miliar) didatangkan klub Premier League dari luar Inggris. Tapi sejarah panjang membuktikan bahwa harga mahal bukan jaminan sukses di liga yang dikenal memiliki tempo dan intensitas luar biasa ini.
Tak sekadar mitos, ketangguhan Premier League terbukti secara ilmiah. Berdasarkan studi menggunakan model VAEP (Valuing Actions by Estimating Probabilities), pemain dari liga-liga seperti Bundesliga, LaLiga, dan Serie A tercatat mengalami penurunan performa saat pindah ke Inggris. Model ini menilai setiap aksi pemain berdasarkan kontribusinya terhadap peluang mencetak atau mencegah kebobolan.
Dari studi tersebut, rata-rata pemain Bundesliga mengalami penurunan performa sebesar 17 persen ketika bergabung ke Premier League. Pemain dari Serie A tercatat turun 12 persen, Ligue 1 turun 10 persen, dan LaLiga sekitar 5 persen. Angka ini menunjukkan bahwa transisi ke Premier League lebih dari sekadar adaptasi taktik—ia juga menuntut kekuatan fisik, mental, serta pemahaman strategi yang lebih tinggi.
Fakta inilah yang tampaknya jadi pertimbangan pelatih Manchester United, Ruben Amorim, dalam memilih pemain seperti Matheus Cunha (Wolverhampton) dan Bryan Mbeumo (Brentford). Keduanya dinilai sudah teruji dengan gaya bermain khas Inggris, sehingga dianggap lebih siap ketimbang pemain asing yang baru pertama kali menjajal liga ini.
Bukan Soal Duit Semata
Dominasi Premier League tak hanya soal uang. Memang, kekuatan finansial klub-klub Inggris sulit ditandingi. Seluruh 20 klub Premier League masuk dalam 50 klub dengan gaji tertinggi di Eropa, menurut data FBref. Tapi yang membuat liga ini istimewa adalah keseimbangan kompetisi di setiap level klasemen.
Berbeda dengan liga lain seperti Serie A atau LaLiga yang kerap hanya menyuguhkan dua hingga tiga tim unggulan, Premier League menawarkan persaingan sengit dari peringkat satu hingga dua puluh. Tak ada pertandingan yang bisa dianggap ringan.
Sebagai perbandingan, di Spanyol hanya Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid yang secara konsisten menjadi penantang gelar. Di Inggris, setiap pekan adalah ujian berat karena nyaris semua tim memiliki skuad berkualitas dan pelatih modern dengan pendekatan taktik yang matang.
Kekuatan merata ini juga terlihat dalam sistem rating yang dikembangkan oleh analis Tyson Ni. Rata-rata kekuatan tim Premier League mengungguli empat liga top Eropa lainnya. Dalam sistem peringkat Club Elo, seluruh 20 klub Premier League tercatat sebagai bagian dari 50 tim terbaik di Eropa—sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh liga-liga lainnya, yang rata-rata hanya menyumbang maksimal 10 klub.
Gaya Bermain yang Berevolusi
Dulu, Premier League dikenal sebagai liga yang keras, penuh duel fisik, dan banyak mengandalkan crossing dari sayap. Namun kini, wajah liga berubah. Tim-tim Inggris bermain dengan gaya lebih teknis, mengandalkan umpan pendek, dan membangun serangan secara efisien.
Data menunjukkan bahwa crossing semakin jarang digunakan, dan tim-tim lebih memilih menembus area berbahaya di kotak penalti sebelum menembak. Ini menandakan bahwa keterampilan teknis para pemain kini jauh lebih penting. Bertahan di Premier League pun bukan lagi soal menutup ruang saja, tapi juga harus cepat membaca permainan dan meminimalkan kesalahan sekecil apapun.
Di level tertinggi ini, kesalahan kecil bisa langsung dibayar mahal. Sebuah blunder bisa dengan cepat dieksekusi menjadi gol, mengingat kualitas penyerang dan kecepatan pergerakan bola yang begitu tinggi. Manchester United musim lalu menjadi contoh nyata bagaimana kelengahan di lini belakang dapat berujung pada kekalahan memalukan.
Lebih Cepat dan Lebih Intens
Bukan hanya lebih teknis dan taktis, Premier League juga menuntut kecepatan fisik di atas rata-rata. Berdasarkan data Gradient Sports, pemain di liga ini berlari lebih cepat dan lebih sering daripada liga top lainnya. Rata-rata kecepatan maksimum pemain Premier League mencapai 32,5 km/jam—tertinggi di Eropa.
Liga Inggris juga mencatat rekor dalam hal jumlah sprint, total jarak sprint, dan durasi waktu yang dihabiskan dalam kondisi sprint. Dalam satu pertandingan mungkin hal ini terlihat biasa, tapi dikalikan dengan 38 laga dan total pemain di semua klub, maka efeknya menciptakan dinamika permainan yang jauh lebih berat.
Efek ritme tinggi ini bahkan terasa hingga kompetisi Eropa. Klub-klub seperti Manchester United dan Tottenham Hotspur mampu menembus final Liga Europa tanpa menghadapi tim Inggris, namun justru terpuruk di klasemen domestik musim lalu. United bahkan mencatatkan performa terburuk dalam sejarah mereka di Premier League, meski tak terkalahkan di kompetisi Eropa.
Lingkungan Paling Menantang
Semua elemen ini—tempo tinggi, tekanan media, kualitas lawan yang merata, dan intensitas fisik yang luar biasa—membentuk sebuah ekosistem liga yang benar-benar berbeda. Untuk bisa bersinar di Premier League, pemain harus punya teknik hebat, kecerdasan taktik, mental baja, dan kondisi fisik yang prima.
Tak heran bila banyak pemain yang sebelumnya bersinar di Bundesliga, Serie A, atau LaLiga, kemudian meredup saat mencoba peruntungan di Inggris. Bagi sebagian besar, Premier League adalah tantangan puncak. Hanya sedikit yang mampu mengatasi tekanan dan menonjol di antara bintang lainnya.
Dan karena itulah, banyak pihak menilai bahwa Premier League bukan sekadar liga dengan uang terbanyak, tapi juga liga paling kompetitif, paling menuntut, dan karenanya—pantas disebut yang terbaik di dunia.