Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan BMKG Kolaborasi Tingkatkan Literasi Kebencanaan Mahasiswa

Selasa, 29 April 2025 | 20:56:07 WIB
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan BMKG Kolaborasi Tingkatkan Literasi Kebencanaan Mahasiswa

JAKARTA - Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesadaran dan literasi kebencanaan di kalangan akademisi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar kunjungan akademik ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kegiatan ini diikuti oleh 40 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen, dan menjadi ajang penting untuk memperluas wawasan tentang peran BMKG dalam mitigasi bencana serta mendalami berbagai fenomena alam seperti cuaca, iklim, gempabumi, dan tsunami.

Kunjungan akademik tersebut menjadi wujud nyata kolaborasi antara institusi pendidikan tinggi dan lembaga pemerintah dalam mengedukasi generasi muda, khususnya dalam menghadapi tantangan kebencanaan di Indonesia yang secara geografis rawan terhadap berbagai bencana alam.
 

Penguatan Pemahaman Kebencanaan Melalui Edukasi Langsung
 

Kegiatan ini diawali dengan sesi pembukaan oleh Gina Ginanti yang bertindak sebagai moderator. Dalam kesempatan tersebut, perwakilan dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Dr. Karlina Supelli, selaku Direktur Program Pascasarjana sekaligus Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Alam Dasar (MK IAD), memberikan sambutan sekaligus mengungkapkan rasa terima kasih kepada BMKG.

“Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami untuk belajar langsung dari para ahli di BMKG. Ini adalah momen penting untuk membuka cakrawala berpikir mahasiswa, terutama terkait realitas alam dan kesiapsiagaan menghadapi bencana,” ujar Dr. Karlina Supelli.

Ia juga menambahkan bahwa pemahaman yang tepat tentang ilmu kebencanaan sangat penting, tidak hanya dari perspektif ilmiah, tetapi juga dalam konteks etis dan filosofis, mengingat bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam dan memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan.
 

Sesi Materi: Kenali Megathrust dan Kesiapsiagaan Tsunami
 

Salah satu sesi utama dalam kunjungan tersebut adalah pemaparan materi oleh Syafira dari BMKG yang mengangkat topik “Potensi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Gempabumi dan Tsunami”. Dalam paparannya, Syafira menyoroti pentingnya mengenal sumber gempa bumi di Indonesia, khususnya megathrust.

“Megathrust bukanlah gempa bumi, melainkan sumber gempa yang terjadi akibat pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudera. Gempa dangkal yang dihasilkan dari megathrust berpotensi menyebabkan kerusakan lebih besar dibandingkan dengan gempa bumi dalam,” jelas Syafira di hadapan para mahasiswa.

Ia juga menyampaikan langkah-langkah strategis dalam kesiapsiagaan, seperti edukasi masyarakat tentang evakuasi dini, pentingnya jalur evakuasi yang jelas, hingga perlunya latihan simulasi bencana secara berkala.

Menurut Syafira, mitigasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga melibatkan kesadaran dan disiplin masyarakat. “Kita perlu membangun budaya siaga bencana sejak dini. Ini tanggung jawab bersama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat,” tegasnya.
 

Simulasi Guncangan: Rasakan Langsung Skala Gempa
 

Salah satu pengalaman menarik dalam kunjungan ini adalah sesi simulasi guncangan gempa menggunakan Earthquake Simulator. Para mahasiswa diberikan kesempatan untuk merasakan secara langsung bagaimana getaran gempa dengan skala magnitudo hingga 7,0, yang dirancang untuk memberikan gambaran nyata tentang intensitas guncangan dari berbagai jarak terhadap pusat gempa.

Melalui simulator ini, peserta diajak untuk memahami pentingnya ketenangan dan langkah responsif saat terjadi gempa bumi. Simulasi ini sekaligus mengasah kesiapan mental dan fisik dalam menghadapi skenario bencana secara nyata.

Kegiatan ini menjadi media pembelajaran yang efektif karena menggabungkan teori dan praktik secara langsung. Mahasiswa dapat mengaitkan pengetahuan yang diperoleh di ruang kelas dengan realitas lapangan, sehingga memperkuat pemahaman dan kesadaran terhadap pentingnya mitigasi bencana.
 

Tinjau Sistem Peringatan Dini: InaTEWS dan CEWS
 

Setelah sesi simulasi, rombongan peserta diajak mengunjungi ruang operasional Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), pusat sistem pemantauan tsunami nasional yang beroperasi 24 jam penuh. Di tempat ini, para mahasiswa mendapat penjelasan mengenai teknologi yang digunakan BMKG dalam mendeteksi aktivitas kegempaan dan potensi tsunami secara real-time.

Mereka juga diperkenalkan dengan bagaimana proses peringatan dini dikembangkan dan disebarkan kepada masyarakat melalui sistem komunikasi yang terintegrasi.

“Setiap detik sangat berharga dalam situasi bencana. Sistem InaTEWS dirancang untuk memberikan peringatan secepat mungkin guna menyelamatkan nyawa,” ujar salah satu staf operasional InaTEWS.

Tak hanya itu, mahasiswa juga diajak mengunjungi ruang Climate Early Warning System (CEWS), yang memantau kondisi klimatologi dan menyajikan informasi prediktif terkait perubahan cuaca dan iklim. Di sini, mahasiswa belajar bagaimana peringatan dini iklim dikembangkan, seperti prediksi El Niño, La Niña, musim kemarau, dan curah hujan ekstrem yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian, kelautan, dan kesehatan masyarakat.
 

Meningkatkan Kepedulian dan Sinergi Institusi
 

Kunjungan akademik ini bukan hanya sebatas perjalanan ilmiah, tetapi juga mempererat hubungan kelembagaan antara BMKG dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Kolaborasi seperti ini diharapkan dapat membuka peluang sinergi ke depan, baik dalam bentuk penelitian bersama, pertukaran pengetahuan, maupun kegiatan literasi kebencanaan yang lebih luas.

Menurut BMKG, pendekatan multidisiplin sangat dibutuhkan dalam menyikapi isu kebencanaan. Ilmu filsafat, sosiologi, psikologi, dan ilmu sosial lainnya memiliki peran penting dalam membentuk perspektif etis, perilaku masyarakat, dan kebijakan publik yang lebih humanis.

Kegiatan edukasi seperti ini menjadi sangat penting di negara rawan bencana seperti Indonesia. Masyarakat, khususnya generasi muda, harus dibekali dengan pemahaman ilmiah dan sikap siap siaga dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja.
 

Literasi Kebencanaan Jadi Tanggung Jawab Bersama
 

Dari rangkaian kunjungan ini, terlihat bahwa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan BMKG memiliki komitmen yang sama dalam menanamkan kesadaran dan kepedulian terhadap kebencanaan. Kolaborasi ini mencerminkan bahwa literasi kebencanaan bukan hanya menjadi domain ilmuwan alam, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi filsafat.

Kegiatan seperti ini diharapkan terus berlanjut dan dapat diikuti oleh institusi pendidikan lainnya di Indonesia, sebagai bagian dari gerakan nasional membangun budaya sadar bencana sejak dini.

Apakah Anda tertarik melihat rekomendasi topik literasi kebencanaan lainnya untuk institusi pendidikan atau modul pengajaran berbasis kebencanaan?

Terkini