Pemakzulan Gibran Tak Relevan, Pengamat: Wapres Terpilih Sesuai Konstitusi, Tidak Ada Pelanggaran

Selasa, 29 April 2025 | 20:43:59 WIB
Pemakzulan Gibran Tak Relevan, Pengamat: Wapres Terpilih Sesuai Konstitusi, Tidak Ada Pelanggaran

JAKARTA - Usulan dari Forum Purnawirawan TNI-Polri untuk mencopot Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari pengamat politik sekaligus Ketua Umum Partai Rakyat Jakarta (Praja), Elang Wijaya Galang Ramadani, yang menyatakan bahwa pemilihan Gibran telah berjalan sah dan sesuai dengan konstitusi negara.

Elang menegaskan bahwa tidak ada alasan konstitusional yang cukup kuat untuk memakzulkan Gibran dari jabatan Wakil Presiden. Menurutnya, proses pemilihan yang dilalui Gibran melalui Pilpres 2024 telah sesuai dengan koridor hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia.

“Gibran Rakabuming dipilih sebagai Wakil Presiden melalui proses pemilihan yang sah dan sesuai dengan konstitusi. Ia memiliki masa jabatan yang ditentukan oleh hukum, dan tidak dapat diganti secara sepihak tanpa dasar pelanggaran konstitusi,” ujar Elang Wijaya saat dihubungi oleh Indonews.id.
 

Tidak Ada Pelanggaran, Tidak Ada Alasan
 

Menurut Elang, usulan pencopotan Gibran tidak memiliki urgensi hukum yang jelas. Ia menilai langkah tersebut justru bisa berpotensi mengganggu stabilitas politik nasional. Apalagi masa jabatan Wakil Presiden sudah diatur secara tegas dalam UUD 1945 dan hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme konstitusional, seperti pelanggaran hukum berat, pengkhianatan terhadap negara, atau alasan kesehatan tetap.

“Permintaan untuk menurunkan Gibran dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan mempengaruhi legitimasi pemerintahan Presiden Prabowo,” ungkap Elang.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam negara demokrasi, setiap warga negara memang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Namun demikian, semua aspirasi politik harus tetap berjalan dalam kerangka hukum dan ketatanegaraan yang sah.

“Apabila ada pihak terkait, terutama ormas atau sekelompok masyarakat yang ingin berpendapat, ya boleh saja karena kita negara demokrasi,” pungkas Elang.
 

Latar Belakang Usulan Kontroversial
 

Sebelumnya, Forum Purnawirawan TNI-Polri yang terdiri dari ratusan mantan perwira tinggi militer secara resmi menyampaikan usulan pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden Republik Indonesia. Forum ini mengklaim terdapat kejanggalan hukum dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ketentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.

Forum tersebut berisi tokoh-tokoh senior militer, seperti Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, yang merupakan Panglima ABRI pada era 1988–1993. Secara keseluruhan, deklarasi mereka ditandatangani oleh 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel dari tiga matra TNI dan Polri.

Mereka menyampaikan delapan poin dalam deklarasi tersebut, termasuk penolakan terhadap kebijakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), penggunaan tenaga kerja asing, usulan reshuffle kabinet, dan yang paling kontroversial adalah usulan penggantian Wakil Presiden Gibran.

Menurut forum tersebut, keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan Gibran mencalonkan diri dinilai telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman. Atas dasar itu, mereka mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempertimbangkan penggantian Wakil Presiden.
 

Pengamat: Pemakzulan Tak Bisa Berdasarkan Ketidaksetujuan Politik
 

Namun, Elang Wijaya menilai bahwa ketidakpuasan terhadap proses hukum dan politik tidak serta-merta dapat menjadi dasar untuk memakzulkan pejabat negara. Menurutnya, Indonesia sebagai negara hukum memiliki jalur dan mekanisme resmi yang harus diikuti, termasuk jika terdapat keberatan terhadap keputusan MK.

“Pemakzulan harus berdasarkan pelanggaran hukum atau konstitusi yang nyata, bukan sekadar perbedaan pandangan politik atau ketidaksetujuan terhadap hasil pemilu,” tegas Elang.

Ia juga menambahkan bahwa masyarakat harus cermat membedakan antara opini politik dan pelanggaran hukum. Menurutnya, mengajukan pemakzulan hanya karena berbeda pandangan terhadap putusan pengadilan adalah preseden buruk yang dapat mencederai demokrasi Indonesia.

Halaman :

Terkini