JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti fenomena menarik sekaligus memprihatinkan terkait perilaku masyarakat Indonesia dalam menghadapi penipuan finansial atau scam. Meski kasus scam kian marak, banyak korban yang terlambat melaporkan kejadian tersebut, sehingga upaya pelacakan dan pembekuan dana menjadi lebih sulit.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menekankan pentingnya kecepatan dalam melaporkan scam. Menurutnya, rata-rata masyarakat Indonesia baru melaporkan kasus ke Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) sekitar 12 jam setelah kejadian. Waktu ini dinilai terlalu lambat jika dibandingkan dengan masyarakat di Singapura, yang hanya membutuhkan 15 menit untuk melapor.
“Sehingga kemudian probabilitasnya untuk bisa diselamatkan menjadi meningkat. Tidak bisa kita sampaikan tadi, apakah dijamin atau tidak dijamin, tapi terbukti bahwa mereka yang lebih cepat memberikan pelaporan, probabilitas untuk dana yang bisa diselamatkan jauh meningkat dibandingkan yang semakin lama atau sudah lewat,” ujar Mahendra dalam acara Kampanye Nasional Berantas Scam dan Aktivitas Keuangan Ilegal di Jakarta.
Keterlambatan pelaporan ini, menurut Mahendra, membuat proses penelusuran menjadi lebih rumit. Semakin lama korban menunda pelaporan, semakin sulit dana dapat dilacak, dan peluang penyelamatan uang pun menurun. Meskipun tidak ada jaminan dana akan kembali sepenuhnya, laporan yang cepat terbukti meningkatkan kemungkinan uang korban bisa terselamatkan.
Mahendra menyebut ada beberapa faktor yang membuat korban lambat melapor. Pertama, sebagian korban tidak menyadari bahwa mereka telah tertipu. Kedua, korban mungkin sedang tidak aktif bertransaksi saat kejadian terjadi, sehingga baru menyadari penipuan beberapa jam kemudian. Faktor psikologis juga menjadi penghambat, seperti rasa malu atau takut dianggap ceroboh.
“Seharusnya rasa malu itu justru muncul karena lambat melapor, yang membuat uang sendiri atau uang keluarga kemungkinan hilang lebih besar. Padahal secara infrastruktur dan teknologi, penelusuran serta pemblokiran bisa dilakukan lebih cepat,” jelas Mahendra.
Fenomena lambat melapor ini berimplikasi nyata terhadap besarnya kerugian yang dialami masyarakat. Hingga 17 Agustus 2025, IASC mencatat total kerugian akibat scam mencapai Rp 4,6 triliun. Laporan yang masuk rata-rata mencapai 700–800 per hari, jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura yang hanya sekitar 140–150 laporan harian.
Secara keseluruhan, jumlah laporan yang diterima IASC mencapai 225.281 kasus dengan 359.733 rekening terkait penipuan. Dari jumlah rekening tersebut, sebanyak 72.145 rekening telah diblokir, dan dana yang berhasil diamankan tercatat Rp 349,3 miliar. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun tidak semua dana dapat diselamatkan, upaya cepat dari korban dan pihak berwenang dapat menekan potensi kerugian lebih besar.
Kasus penipuan finansial kini semakin bervariasi, mulai dari scam investasi, penipuan jual-beli online, hingga aktivitas ilegal di dunia digital. Hal ini menuntut masyarakat untuk lebih waspada dan proaktif melaporkan setiap indikasi penipuan. Kecepatan pelaporan tidak hanya berdampak pada efektivitas pemblokiran rekening, tetapi juga pada kemampuan pihak berwenang dalam menelusuri jaringan scam yang lebih luas.
Pihak OJK melalui IASC terus mendorong kampanye edukasi agar masyarakat memahami pentingnya laporan cepat. Upaya ini melibatkan sosialisasi melalui media digital, webinar, hingga kerja sama dengan lembaga perbankan dan fintech. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan meminimalkan kerugian akibat scam.
Dalam konteks internasional, data perbandingan dengan Singapura menjadi cerminan pentingnya respons cepat. Masyarakat Singapura mampu melaporkan penipuan hanya dalam hitungan menit, sehingga kemungkinan dana diselamatkan lebih tinggi. Sementara itu, di Indonesia, jeda 12 jam atau lebih dalam pelaporan menjadi tantangan tersendiri bagi pihak berwenang dalam menelusuri dana dan mengidentifikasi pelaku.
Selain itu, penyebab keterlambatan pelaporan tidak semata-mata soal kecepatan akses teknologi. Faktor psikologis, kurangnya edukasi, dan ketidakpahaman tentang prosedur pelaporan juga memengaruhi efektivitas penanganan scam. Oleh karena itu, kampanye kesadaran dan edukasi finansial menjadi elemen penting dalam membangun budaya pelaporan cepat.
Dengan sistem pelaporan yang lebih cepat, IASC dan OJK berharap korban scam bisa meminimalkan kerugian. Langkah-langkah preventif, seperti memverifikasi informasi sebelum melakukan transaksi, mengenali tanda-tanda scam, dan segera melaporkan setiap kejadian, menjadi bagian dari strategi perlindungan masyarakat.
Fenomena lambatnya laporan ini menegaskan bahwa pencegahan dan penanganan scam tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau sistem perbankan semata. Peran aktif masyarakat, kesadaran akan risiko, dan keberanian untuk segera melapor menjadi kunci utama dalam meminimalkan kerugian dan memperbesar peluang penyelamatan dana.
Secara keseluruhan, data dan pengalaman yang tercatat menunjukkan bahwa kecepatan pelaporan menentukan efektivitas penyelamatan dana. Dengan kampanye edukasi, dukungan teknologi, dan partisipasi masyarakat yang lebih aktif, diharapkan kerugian akibat scam dapat ditekan, dan Indonesia bisa menyaingi negara-negara dengan sistem pelaporan cepat seperti Singapura.