Ilmiah

Cara Ilmiah Tangani Krisis Sampah DIY

Cara Ilmiah Tangani Krisis Sampah DIY
Cara Ilmiah Tangani Krisis Sampah DIY

JAKARTA - Krisis sampah yang menumpuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sering dipandang sebagai masalah besar tanpa jalan keluar. Namun, Prof. Dr. Surahma Asti Mulasari, S.Si., M.Kes., melihatnya dengan kacamata berbeda. Alih-alih hanya menyoroti ancaman kesehatan dan lingkungan, ia mengajak masyarakat untuk melihat sampah sebagai potensi ekonomi sekaligus peluang perubahan sosial. Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Surahma menekankan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya urusan kebersihan, melainkan juga bagian dari strategi pembangunan daerah.

Menurutnya, setiap warga Yogyakarta menghasilkan rata-rata setengah kilogram sampah per hari. “Bayangkan, bila ditimbun dalam setahun, volume sampah tersebut bisa menutupi Candi Prambanan dengan gunungan sampah,” ungkapnya. Gambaran ini menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi, terlebih sejak TPA Piyungan kelebihan kapasitas sejak 2022 dan memicu munculnya lebih dari 20 titik pembuangan ilegal di berbagai sudut kota.

Potensi Ekonomi Tersembunyi

Meski demikian, Surahma menilai ada peluang besar yang jarang dibicarakan. Sampah di DIY memiliki nilai ekonomi hingga Rp90–98 miliar per tahun, dan jika hanya separuh yang masuk ke sistem formal seperti bank sampah, nilainya tetap mencapai Rp40 miliar. “Jumlah itu setara dengan biaya pembangunan puluhan sekolah dasar,” jelasnya.

Data komposisi sampah memperkuat optimisme tersebut. Sekitar 53 persen sampah DIY berupa organik, 12 persen plastik, dan 8 persen kertas. Lebih dari separuh seharusnya bisa didaur ulang atau diolah kembali. Namun kenyataannya, lebih dari 90 persen sampah masih berakhir di landfill. Bagi Surahma, ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan tantangan perilaku dan kebijakan.

Dampak Lingkungan dan Kesehatan

Selain aspek ekonomi, pengelolaan sampah yang buruk membawa konsekuensi serius bagi kesehatan. Surahma mengingatkan bahwa sampah yang menumpuk dapat meningkatkan kasus demam berdarah, diare, hingga memperburuk kondisi sanitasi yang berkaitan dengan stunting anak. Dengan kata lain, masalah sampah berhubungan langsung dengan kualitas hidup masyarakat.

Ketimpangan antarwilayah juga membuat situasi semakin kompleks. Kota Yogyakarta sudah berhasil mengelola lebih dari 96 persen sampah melalui peraturan daerah yang berlaku sejak 2022. Sleman mendorong rumah tangga untuk mandiri mengolah sampah, sementara Bantul masih stagnan. Gunungkidul dan Kulon Progo pun menghadapi tantangan besar karena aktivitas pariwisata dan UMKM.

Menakar Nilai Sampah dalam Angka

World Bank memprediksi timbulan sampah global bisa mencapai 2,2 miliar ton per tahun pada 2025. Bagi DIY, potensi nilai sampah sudah bisa dihitung jelas: dengan harga pasaran kompos Rp1.000/kg, plastik Rp4.000/kg, dan kertas Rp2.000/kg, total nilainya mencapai Rp91,7 miliar per tahun. “Angka tersebut setara dengan 10 persen APBD DIY,” papar Surahma.

Namun, ia mengingatkan bahwa keuntungan sampah tidak hanya bisa dihitung secara ekonomi. Bank sampah juga memberi dampak sosial yang signifikan, seperti tabungan pendidikan, dana sosial, hingga insentif bagi keluarga. Dengan demikian, pengelolaan sampah mampu membangun jaringan solidaritas di masyarakat.

Strategi Berlapis: Dari Rumah Tangga hingga Kebijakan Nasional

Untuk keluar dari lingkaran masalah ini, Prof. Surahma menawarkan strategi ilmiah yang bersifat berlapis:

Tingkat keluarga: pemilahan sampah, penggunaan komposter, biopori, dan edukasi. Hasil penelitiannya menunjukkan edukasi keluarga mampu menurunkan residu sampah hingga 30 persen.

Tingkat komunitas: penguatan lebih dari 1.200 bank sampah unit di DIY yang terbukti efektif meningkatkan partisipasi ribuan warga.

Tingkat regional: optimalisasi TPA, pemanfaatan teknologi seperti refuse-derived fuel (RDF), pirolisis, dan composting skala besar.

Tingkat nasional: kebijakan yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta Rencana Induk Riset Nasional 2017–2045.

Tingkat perguruan tinggi: inovasi teknologi, mulai dari pembakar sampah berbasis IoT, briket bioarang, pencacah sampah, hingga media edukasi bagi masyarakat.

Bagi Surahma, keberhasilan pengelolaan sampah hanya bisa tercapai bila seluruh lapisan ini berjalan beriringan.

Perubahan Paradigma

Menutup pidatonya, Surahma menegaskan perlunya perubahan cara pandang. Sampah tidak boleh lagi hanya diperlakukan sebagai sesuatu yang harus diangkut dan ditimbun. “Jika setiap keluarga disiplin memilah, komunitas aktif dalam bank sampah, dan pemerintah konsisten meregulasi, maka beban TPA akan berkurang drastis,” ujarnya.

Lebih dari itu, sampah bisa menjadi sumber daya baru yang menggerakkan ekonomi, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta memperkuat solidaritas sosial. Krisis sampah DIY memang nyata, tetapi dengan strategi ilmiah yang tepat, krisis itu bisa diubah menjadi peluang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index