JAKARTA - Penjualan mobil di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Posisi Indonesia sebagai raja otomotif ASEAN kini mulai terancam karena pertumbuhan penjualan kendaraan domestik melambat, sementara negara tetangga seperti Malaysia mulai mengejar dengan agresif. Data terbaru menunjukkan persaingan semakin ketat, menuntut strategi menyeluruh agar Indonesia tidak kehilangan dominasinya di pasar regional.
Berdasarkan laporan Asosiasi Otomotif Malaysia (MAA), penjualan kendaraan di Negeri Jiran hingga Juli 2025 mencapai 443.777 unit. Angka ini menurun 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, namun tetap berada sangat dekat dengan capaian Indonesia. Sementara itu, data retail sales dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat sebanyak 453.278 unit mobil baru dikirim ke konsumen sepanjang Januari–Juli 2025. Penurunan ini lebih tajam dibanding Malaysia, mencapai 10,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Selama bertahun-tahun, Indonesia berhasil mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar otomotif di Asia Tenggara, dengan penjualan domestik tertinggi di kawasan. Namun, keberhasilan Malaysia menggeser Thailand dari posisi kedua menjadi peringatan bahwa dominasi Indonesia tidak bisa dianggap remeh.
“Untuk mempertahankan dominasi Indonesia dalam industri otomotif ASEAN di tengah persaingan ketat dari negara seperti Malaysia dan Thailand, strategi ekonomi harus difokuskan pada langkah-langkah taktis yang segera diterapkan untuk peningkatan daya beli masyarakat middle income class kita melalui perbaikan ekosistem ekonomi makro yang lebih pro pada kelompok ini,” ujar Yannes Martinus Pasaribu, akademisi ITB sekaligus pengamat otomotif.
Menurut Yannes, salah satu langkah krusial adalah kebijakan belanja pemerintah yang pro terhadap stabilisasi pasar dan peningkatan daya saing harga jual kendaraan. Reformasi fiskal, termasuk harmonisasi Pajak Kendaraan Bermotor maksimal 10 persen dan pengurangan berbagai retribusi, dapat mengurangi beban kepemilikan bagi konsumen kelas menengah. Hal ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan segmen mobil entry-level.
Selain itu, Yannes menekankan pentingnya memperpanjang insentif LCGC (Low Cost Green Car) untuk meningkatkan penjualan mobil entry-level hingga 15–20 persen per tahun, serta subsidi agresif untuk pengembangan infrastruktur kendaraan listrik (BEV) guna mempercepat adopsinya di pasar domestik.
Tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Yannes menegaskan bahwa langkah ini penting untuk memastikan pabrik lokal benar-benar memproduksi komponennya sendiri. “Segera percepat investasi dalam diversifikasi rantai pasok dan lokalisasi untuk mencapai TKDN 80 persen pada 2030. Bangun kemitraan global guna memperoleh transfer teknologi inti dan kurangi ketergantungan impor, sambil mendorong kebijakan berorientasi ekspor untuk memanfaatkan pertumbuhan pasar otomotif ASEAN, Afrika, dan Timur Tengah, baik untuk ICE, HEV maupun BEV melalui pabrik yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Langkah-langkah ini dinilai strategis untuk mengurangi risiko ketidakpastian geopolitik global dan memperkuat ketahanan industri terhadap lonjakan kendaraan listrik dari negara pesaing. Indonesia perlu memastikan industri otomotifnya mampu bersaing tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga di tingkat regional.
“Terakhir, segera tetapkan aturan yang mendorong industri mobil HEV hingga BEV yang berjualan di Indonesia menggunakan baterai produksi dalam negeri. Jika semua dijalankan dengan teliti dan konsisten, dengan dukungan kontrol yang ketat serta kesiapan untuk memodifikasi setiap kebijakan begitu ada perubahan di pasar, Indonesia bisa menjadi basis mobilitas berkelanjutan regional. Hal ini akan mencegah hilangnya pangsa pasar, sekaligus mendukung aliran investasi langsung asing dan penciptaan lapangan kerja di sektor otomotif,” tegas Yannes.
Selain fokus pada regulasi dan insentif fiskal, penguatan industri dalam negeri juga akan mendorong inovasi, efisiensi produksi, dan daya saing harga yang lebih baik. Sinergi antara pemerintah, produsen lokal, dan investor asing menjadi kunci untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai raja otomotif ASEAN.
Di tengah tekanan dari Malaysia yang mulai menyalip Indonesia, upaya kolaboratif untuk meningkatkan daya beli masyarakat, memperkuat rantai pasok lokal, dan mendorong kendaraan ramah lingkungan menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda. Apabila strategi ini dijalankan dengan konsisten, Indonesia berpotensi tidak hanya mempertahankan posisi nomor satu, tetapi juga menjadi pusat inovasi otomotif regional.
Dominasi Indonesia di ASEAN tidak lagi bisa dianggap remeh. Setiap langkah kebijakan, dari fiskal hingga teknologi, harus dirancang untuk memperkuat pasar domestik sekaligus meningkatkan daya saing di kancah internasional. Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadikan industri otomotifnya sebagai simbol mobilitas berkelanjutan sekaligus mesin ekonomi regional yang kuat.
Dengan kombinasi kebijakan pro-konsumen, insentif industri, penguatan TKDN, dan strategi ekspor yang tepat, posisi Indonesia sebagai raja otomotif ASEAN dipastikan tetap kokoh. Tantangan sudah jelas di depan mata, dan keberhasilan akan ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan langkah yang diambil oleh pemerintah dan seluruh pelaku industri otomotif.